Apindo Kritik Tingginya Tarif Pajak Hiburan Terbaru



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) angkat bicara terkait polemik kenaikan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yang menyasar jasa hiburan.

Asal tahu saja, dalam UU No. 1 Tahun 2022, pemerintah menetapkan tarif PJBT terbaru untuk jasa hiburan yang meliputi karaoke, diskotek, bar, klub malam, dan spa mulai dari 40% sampai 75%.

Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyampaikan, pengenaan pajak hiburan mulai dari 40% sampai 75% tentu akan berdampak pada bisnis hiburan yang merupakan bagian dari ekosistem pariwisata.


Baca Juga: Pelaku Usaha Keluhkan Pajak Hiburan Naik 40%

“Jika pajaknya meningkat, tentu menjadi tidak kompetitif. Di sisi lain Thailand justru menurunkan pajaknya untuk mengejar target pertumbuhan pariwisata,” kata dia, Minggu (14/1).

Potensi efek berantai dari pengenaan tarif pajak hiburan yang tinggi jelas terbuka. Apalagi, seluruh pemerintah daerah (Pemda) sudah mulai memberlakukan kebijakan yang tertera di UU No. 1/2022.

Apindo memandang bahwa pajak hiburan merupakan pajak final yang dipungut dari konsumen. Alhasil, harga jual produk atau jasa berpotensi ditambahkan pajak sekitar 40% sampai 75% tergantung kebijakan masing-masing daerah. “Harga jualnya (produk atau jasa) tidak akan meningkat, namun nilai yang harus dibayar oleh konsumen akan meningkat,” imbuh Shinta.

Dia menambahkan, hendaknya pemerintah selalu melibatkan pelaku usaha dalam membuat peraturan perundangan yang berkaitan dengan dunia usaha. Berkaca dari polemik yang terjadi di lapangan, jelas bahwa para pelaku usaha hiburan hingga pariwisata tidak sepakat dengan pemberlakuan tarif pajak hiburan yang ada di UU No. 1/2022.

Apindo juga menganggap bahwa pajak hiburan yang dimulai dari 40% sampai maksimal 75% sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat dalam penerapannya.

Selain itu, Apindo menilai bahwa pemerintah memiliki kewenangan penuh dalam memberikan izin dan mencabut izin berusaha jika terjadi pelanggaran. “Untuk itu, tidak tepat jika dengan alasan bisnis hiburan yang dianggap rentan berbagai risiko kemudian dinaikkan pajaknya,” terang Shinta.

Baca Juga: Dinilai Bisa Mematikan Usaha, Asosiasi Spa Tolak Penetapan Pajak 40%

Lebih lanjut, karena UU No. 1/2022 sudah diberlakukan, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh pengusaha adalah melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan beleid tersebut direvisi.

Menurut Apindo, konsep pajak pungut adalah semakin tinggi harga produk atau jasa, maka akan semakin tinggi nilai pajaknya. Maka dari itu, nilai pajak hiburan idealnya maksimal 10%, seperti halnya pajak hotel dan restoran.

“Mesti diingat juga bahwa bisnis hiburan itu adalah labour insentif,” pungkas Shinta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .