Apindo Minta Pemerintah Benahi Masalah FDI untuk Industri Manufaktur Otomotif



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produsen mobil asal Vietnam, VinFast, akan berinvestasi di pasar Indonesia dalam jangka panjang.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pun mengimbau pemerintah untuk membenahi berbagai permasalahan terkait investasi langsung asing atau foreign direct investment (FDI) di Indonesia, khususnya untuk industri manufaktur otomotif.

Ketua Apindo Shinta Kamdani menilai, kendati hadirnya VinFast akan memberikan berbagai keuntungan untuk Indonesia, terlebih dalam penerimaan FDI, masih banyak tantangan yang harus diperhatikan dan dibenahi pemerintah.


Shinta menuturkan, industri otomotif membutuhkan pekerja terampil dalam jumlah besar. Sayangnya, kumpulan pekerja terampil masih sangat terbatas di Indonesia.

Selain itu, “impor” tenaga kerja asing juga sulit dengan beratnya beban regulasi bagi perusahaan. Karena itu, banyak perusahaan manufaktur berteknologi tinggi enggan berinvestasi di Indonesia, meskipun ada ketertarikan.

“Sektor otomotif memerlukan tenaga kerja yang terampil atau skilled workers, apalagi EV (electric vehicle) tidak bisa hanya assembling karena banyak komponen berteknologi tinggi yang memerlukan pemrograman dan QC (quality control) ketat,” tutur Shinta kepada Kontan.co.id, Senin (18/9).

Baca Juga: Pengusaha Sambut Baik Rencana VinFast Bangun Pabrik Mobil Listrik di Indonesia

Menurut Shinta, iklim usaha pada sektor manufaktur di Indonesia juga masih kurang kondusif, khususnya dari segi tuntutan rantai pasok input produksi.

Dia menjelaskan, industri manufaktur umumnya memiliki input produksi yang banyak dan kompleks, serta tidak semua komponen bisa diproduksi secara kompetitif di Indonesia, sehingga harus dilakukan impor agar industri bisa berjalan dengan baik dan kompetitif di pasar.

Sayangnya, kemudahan impor input produksi ini tidak selalu terjadi di Indonesia, justru banyak dibatasi, walau tidak ditemukan subtitusi sepadan dari dalam negeri. Imbasnya, rantai pasok impor untuk industri manufaktur pun jadi tidak efisien bagi perusahaan atau calon investor.

“Padahal, di saat yg sama pelaku di sektor manufaktur diharapkan untuk mencapai TKDN. Jadi menyulitkan investor. Karena itu, kita perlu lebih serius membenahi masalah mismatch dan daya saing supply chain domestik ini,” kata Shinta.

Meskipun pada dasarnya proyek investasi terkait mobil listrik bisa masuk kategori industri prioritas yang difasilitasi perizinannya oleh pemerintah, pada kenyataannya di lapangan masih banyak ditemukan batu sandungan. Maka itu, pendampingan dan fasilitas untuk realisasi investasi dari pemerintah masih sangat diperlukan.

“Masih banyak ditemukan bottleneck pelaksanaan karena berbagai hal seperti regulasi daerah yang belum sepenuhnya konsisten, isu lahan, isu kepastian akses supply energi atau logistik, insentif investasi yg sulit atau tidak bisa diklaim, dan lain-lain,” ucapnya.

Shinta kembali menekankan, pemerintah perlu meningkatkan konsistensi reformasi iklim usaha dan investasi yang sudah ada di lapangan, agar batu sandungan dalam realisasi investasi semakin berkurang, hingga sampai pada tataran ideal yang dijanjikan dalam regulasi.

Sebagai informasi, produsen mobil listrik asal Vietnam, VinFast, akan berinvestasi sekitar US$ 1,2 miliar atau setara Rp 18,36 triliun (acuan kurs Rp 15.300 per dolar AS) di pasar Indonesia dalam jangka panjang.

Adapun dari total tersebut, VinFast akan menggunakan US$ 200 juta atau setara Rp 3,06 triliun untuk membangun pabrik di Indonesia.

Pernyataan tersebut diungkapkan VinFast kepada bursa saham Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu.

Baca Juga: BKPM Sebut VinFast Masih Cari Lokasi yang Pas Untuk Investasi Mobil Listrik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat