Apindo: Prospek manufaktur 2020 tergantung implementasi omnibus law dan revisi DNI



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, prospek manufaktur Indonesia di tahun 2020 belum bisa diprediksi. Menurutnya, prospek tersebut baru bisa dipastikan setelah adanya penerapan omnibus law dan perubahan daftar negatif investasi (DNI) oleh pemerintah Indonesia.

Omnibus law merupakan sebuah rancangan undang-undang (RUU) yang akan menggantikan peraturan perundang-undangan yang tak lagi relevan dan menghambat pertumbuhan investasi di Indonesia. Setidaknya ada sebanyak 72 UU yang dianggap memberatkan investasi dan kemudian akan digantikan dengan rancangan omnibus law.

Sementara itu, pemerintah kabarnya akan menerbitkan Daftar Positif Investasi (Positive Investment List) alih-alih melakukan revisi terhadap DNI. Daftar Positif Investasi ini nantinya akan memuat klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang menjadi prioritas pemerintah dan terbuka untuk investasi asing.


Baca Juga: Ekonom proyeksikan kinerja manufaktur Indonesia melambat tahun ini, berikut pemicunya

Kedua faktor inilah yang kemudian akan menjadi perhitungan utama para investor dalam menanamkan modalnya. Mereka tentu akan memperhitungkan secara rinci dan membandingkan dengan biaya serupa di negara pesaing.

"Secara umum, kita bisa menarik industri manufaktur apa pun kalau biaya investasi, biaya produksi, dan biaya rantai pasok (supply chain) manufaktur di Indonesia menjadi lebih rendah, atau setidaknya cukup bersaing dengan negara-negara pesaing kita," ujar Shinta kepada Kontan.co.id, Jumat (3/1).

Namun, sektor investasi apa yang nantinya akan masuk, masih tetap akan bergantung pada sejauh apa iklim usaha di Indonesia berubah setelah penerapan omnibus law dan DNI.

Shinta juga mengatakan kendala terbesar di tahun ini adalah adanya pengalihan perdagangan (trade diversion) dan pengalihan investasi (investment diversion) di sektor manufaktur global. Kendala tersebut terjadi sebagai akibat dari meredanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China.

Selain meredanya perang dagang, kendala tadi juga dipengaruhi oleh adanya penurunan nilai mata uang yuan di tahun 2019, serta upaya penyelesaian perang dagang tahap 1 yang diharapkan akan mengembalikan sebagian tarif perdagangan AS-China ke tarif normal.

Berbagai sentimen tersebut, tentu membuat Indonesia harus kembali memperhitungkan China sebagai pesaing tujuan investasi manufaktur global. Apalagi basis industri antara Indonesia dan China relatif sama, serta produksi China saat ini dapat dikatakan jauh lebih efisien dibanding Indonesia.

Sementara itu, di level nasional para pelaku usaha dan investor nasional masih belum akan bergerak ke sektor-sektor manufaktur lain. Alasannya, mereka menganggap iklim usaha di sektor tersebut belum begitu kondusif untuk diinvestasikan. Itu karena, pasar domestik sebagai pendorong utama pertumbuhannya cenderung stagnan dan pasar global belum sepenuhnya pulih.

Baca Juga: Akhir tahun 2019 manufaktur Indonesia masih lesu, begini prediksinya pada 2020

"Sehingga investor nantinya hanya akan berinvestasi jika perhitungan berbagai biaya di atas sudah cukup efisien dan perhitungan return investasinya cukup meyakinkan, meskipun kondisi pasar masih cenderung lesu," kata Shinta.

Sebelumnya, pada Desember 2019 lalu IHS Markit mencatat Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia berada pada level 49,5. Di dalam laporan survei tersebut juga dikatakan bahwa capaian indeks Indonesia membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 48,2.

Meskipun begitu, secara rata-rata capaian PMI Manufaktur Indonesia sepanjang kuartal IV 2019 hanya sebesar 48,5. Jika dilihat secara histori, capaian tersebut merupakan capaian kuartalan terendah sejak tahun 2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi