Apindo Ungkap Dampak Pelemahan Rupiah Terhadap Industri Manufaktur



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS yang kembali menyentuh level Rp 16.000 per dolar AS berdampak signifikan pada industri manufaktur, terutama yang berbasis ekspor dan bergantung pada bahan baku impor. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana, dalam pernyataan resminya hari ini.

Berdasarkan data Bloomberg, pada Rabu (18/12), nilai tukar rupiah spot ditutup di level Rp 16.098 per dolar AS, menguat tipis 0,02% dibandingkan dengan hari sebelumnya yang tercatat di Rp 16.101 per dolar AS. Meskipun ada sedikit penguatan, pelemahan rupiah dalam jangka panjang berpotensi memperburuk kondisi industri manufaktur, khususnya yang berorientasi ekspor.

Danang menjelaskan bahwa industri manufaktur yang bergantung pada ekspor dan bahan baku impor akan menghadapi dua dampak utama. Pertama, bagi perusahaan yang tetap melaksanakan ekspor meski dalam kondisi rupiah melemah, mereka akan menghadapi risiko margin yang semakin tipis. Hal ini disebabkan oleh kenaikan biaya logistik dan ekspedisi yang tidak sebanding dengan harga jual produk di pasar internasional.


"Kewajiban perjanjian ekspor harus tetap dipenuhi, namun dengan biaya tambahan dari fluktuasi nilai tukar, margin yang didapatkan semakin kecil. Ini akan mempengaruhi daya saing produK Indonesia di pasar global," kata Danang kepada KONTAN, Rabu (18/12).

Baca Juga: Pelemahan Rupiah Hambat Daya Saing Industri Manufaktur

Kedua, bagi industri yang mengandalkan bahan baku impor, biaya produksi akan semakin mahal. Bahan baku yang sebelumnya terjangkau dalam nilai rupiah kini menjadi lebih mahal karena nilai tukar yang terus melemah. Hal ini berpotensi memperlambat produksi dan meningkatkan harga jual produk yang pada gilirannya bisa mempengaruhi permintaan pasar.

Danang juga menambahkan bahwa untuk menghadapi dampak dari fluktuasi nilai tukar ini, industri manufaktur perlu melakukan mitigasi risiko dengan dua pendekatan. Pertama, bagi industri yang terikat pada kontrak ekspor jangka pendek, mereka perlu mempertimbangkan penggunaan strategi hedging untuk melindungi diri dari fluktuasi nilai tukar yang lebih tajam.

Kedua, industri harus siap mengantisipasi lonjakan biaya bahan baku impor dan merencanakan penyesuaian harga produk untuk mempertahankan margin yang layak. Ini menjadi sangat penting mengingat ketidakpastian pasar global dan fluktuasi mata uang yang terus terjadi.

Danang juga menekankan pentingnya peran Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Menurutnya, sejak 2022, rupiah telah masuk dalam daftar 10 mata uang terlemah di dunia, yang menunjukkan kurangnya perlindungan terhadap mata uang domestik.

"Ini menjadi tantangan besar bagi daya saing produk ekspor kita, dan negara perlu lebih serius dalam melindungi mata uang rupiah agar industri manufaktur Indonesia tidak semakin terjepit," ujar Danang.

Danang juga mengingatkan bahwa industri manufaktur yang berorientasi ekspor harus tetap waspada terhadap fluktuasi nilai tukar yang dapat terjadi kapan saja. Dengan persiapan mitigasi yang tepat, industri dapat bertahan meskipun menghadapi tantangan ekonomi global yang tidak menentu.

Baca Juga: Rupiah Jatuh ke Level Rp 16.000 per Dolar AS, Begini Efeknya Bagi Eksportir

Selanjutnya: Astra Life Bayar Penuh Klaim Nasabah Senilai Rp 5 Miliar

Menarik Dibaca: Warna Keberuntungan Shio di Tahun 2025, Ini Warna Keberuntungan Shio Ular!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati