KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengusulkan adanya insentif bagi petani yang telah mengantongi
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, jika harga tandan buah segar (TBS) yang sudah bersertifikat ISPO memiliki harga yang sama, akan membuat ISPO kurang menarik apalagi bagi petani. "Seharusnya ada intensif bagi yang sudah mendapatkan sertifikasi ISPO, misalnya setidaknya harga TBS [yang sudah] ISPO harus lebih mahal dibanding yang belum ISPO," kata Gulat kepada Kontan.co.id, Kamis (10/11).
Baca Juga: Ada 3,65 Juta Ha Kebun Sawit Bersertifikat ISPO, Hasilkan 22 Juta Ton Produksi CPO Pasalnya, ISPO juga masuk dalam biaya, yang akan membengkakkan harga pokok produksi (HPP) TBS itu sendiri. Maka Gulat meminta agar wajib ISPO bagi seluruh petani di 2025 dapat ditunda. "Harga TBS masih di bawah HPP, harga pupuk naik sampai 300%, sawit petani masih terjebak dalam kawasan hutan, kebun petani masih 10% yang sudah SHM. Disuruh pula wajib ISPO, kan ini nggak benar. Ibarat kereta api "gerbong kereta api sudah dibeli tapi relnya masih belum direncanakan," ungkapnya. Ia melanjutkan, syarat untuk bersertifikasi ISPO adalah lahan harus sertifikat. Sementara itu, Gulat mengungkap, dari 6,87 juta hektar lahan petani, maksimal baru 10% yang sudah sertifikat. Dimana faktanya sawit petani tersebut paling tidak 25% masih terjebak dalam kawasan hutan. Kemudian menyoal pendanaan sertifikasi ISPO yang cukup dinilainya lumayan serta sumber dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) juga dinilai sulit didapatkan. Kemudian kendala yang lain ialah, pendampingan dan edukasi soal ISPO juga masih minim bagi petani (KUD/Poktan), dimana sosialisasi yang ada dinilai masih hanya sekedar seremonial. Kendala syarat ISPO pada petani lainnya yakni, penggunaan bibit ilegitim serta pencatatan administrasi yang sama sekali tidak pernah dilakukan petani. Berkaca pada hal tersebut, Gulat pesimis kewajiban ISPO petani pada 2025 nanti dapat terealisasi seluruhnya. Hingga saat ini progres ISPO pada petani sawit masih sangat rendah. Dimana dari data yang dimiliki capaian sertifikasi ISPO pada petani per April 2022 baru 0,4% dari total luasan lahan di asosiasi petani sawit 22.036,2 hektar. "Dari data baru 22.000-an hektar atau 0,4%. Mustahil 2025 bisa 100%. Harus
cepet pemerintah mengantisipasi. Dengan cara membuat skala prioritas hambatan utama," ujarnya.
Baca Juga: Airlangga Hartarto Sebut Industri Kelapa Sawit Topang Pemulihan Ekonomi Indonesia Selain itu untuk mendukung ISPO di tingkat petani, Gulat berharap agar pendanaan harus benar-benar didukung penuh dan dipermudah oleh BPDPKS. Tak ketinggalan persoalan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan juga menjadi pekerjaan rumah yang harus diatasi Pemerintah, serta adanya bantuan bagi petani untuk sertifikasi lahannya. Kemudian perlu juga pendampingan baik dari Dinas maupun kemitraan dari pihak Perusahaan. Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan, luasan kebun sawit bersertifikat ISPO terus bertambah, dimana sekarang ini mencapai 3,65 juta hektare yang menghasilkan 22 juta ton CPO Bersertifikat. Sementara itu, total produksi CPO Indonesia sebanyak 46 juta ton dengan luas perkebunan sawit 16,38 juta hektare. Syahrul menuturkan bahwa sertifikasi ISPO bersifat mandatori bagi perusahaan dan petani sawit yang mengacu kepada peraturan berlaku. Penerapan ISPO mendukung pencapaian daya saing minyak sawit Indonesia di dunia, memperhatikan isu lingkungan dan mampu mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). "Saat ini, jumlah pemegang sertifikat ISPO sebanyak 766 unit yang bertambah setiap tahunnya. Ini menandakan adanya perkembangan kebun sawit berkelanjutan ," ujarnya dalam
Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2022 pekan lalu. Dengan terbitnya regulasi ISPO menjadi cara untuk mencapai perkebunan sawit yang efisien dan efektif. Ke depan, sertifikasi ISPO akan disempurnakan melalui proses sertifikasi sampai kepada produk hilir agar daya saing semakin meningkat baik di dalam dan luar negeri lalu dapat memperkuat daya tawar Indonesia di pasar global minyak nabati dunia. "Melalui penerapan minyak sawit bersertifikat ISPO dapat mempermudah akses pasar internasional dan meningkatkan harga CPO bersertifikat. Ini akan meningkatkan insentif bagi pelaku usaha perkebunan," ujarnya.
Baca Juga: PTPN V Kembali Raih Dua Sertifikasi RSPO Pasalnya produk sawit berlabel ISPO akan menjamin produksi tersebut telah memenuhi indikator sawit berkelanjutan di sepanjang rantai pasoknya.
Sebagai informasi, ISPO telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dan menjadi instrumen dalam mewujudkan perkebunan sawit yang berkelanjutan sejak tahun 2011 melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (
Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Selanjutnya pada 2015 peraturan terkait sertifikasi ISPO diperbarui melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 11 tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit. Pada 2020, ISPO telah disempurnakan melalui Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2020 yang secara teknis pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 38 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .