APLSI: Biaya investasi di Indonesia lebih mahal



JAKARTA. Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) angkat bicara menyikapi mahalnya harga listrik di Indonesia. Hal ini disebabkan biaya investasi dan produksi di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara lainnya.

Ketua Harian APLSI Arthur Simatupang mencontohkan harga listrik EBT di beberapa negara di Uni Emirate Arab memang akan lebih murah dibandingkan harga listrik EBT yang dijual di Indonesia.  Harga listrik EBT di UEA dijual di kisaran 2,25 sen per kwh hingga 2,99 sen per kwh.

Solar tenaga matahari 150 megawatt (MW) dijual dengan harga 2,99 sen per kwh, dan 200 MW 2,42 sen per kwh. Sedangkan di Indonesia, harga listrik EBT dipatok di kisaran 15 per kwh hingga 18 sen per kwh.


Presiden Joko Widodo pernah membeberkan faktor-faktor yang menyebabkan harga listrik di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan di negara-negara lain yakni akibat terlalu banyak beban-beban biaya yang sebenarnya tidak perlu serta masih adanya biaya makelar atau perantara.

Arthur menilai selain faktor yang diungkap presiden, masih banyak faktor lain yang membuat harga listrik, termasuk EBT, di Indonesia kemudian menjadi lebih mahal. Misalnya, biaya investasi di Indonesia karena masalah lahan dan perizinan. Padahal lahan tak produktif di negara lain diberikan cuma-cuma untuk dikembangkan.

"Sedangkan di sini, harga lahan tiba-tiba melonjak saat akan dibebaskan. Belum lagi biaya dana (cost of fund) di sini mahal sekali. Di sana cuma dua persenan. Di sana juga pengusaha dapat free tax, sedangkan di sini masih ada pajaknya dan sebagainya,” ujarnya.

Proses perizinan dan birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama membuat harga listrik di Tanah Air sulit bersaing dengan negara lain. Lamanya perizinan ini juga akan menjadi biaya tambahan sehingga pengusaha dibayang-bayangi ketidakpastian.

 Selain itu, biaya logistik di Indonesia juga lebih mahal. Sebab infrastruktur belum memadai dan kondisi alam di Indonesia sangat berat. “Biaya logistik kita di Indonesia ini kan yang tertinggi di ASEAN. Yakni, 29 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tingginya biaya logistik membuat biaya kita membangun infrastruktur listrik sangat tinggi,” lanjutnya.

Sebab itu, ujar Arthur, fokus pemerintahan Jokowi-JK membangun infrastruktur secara besar-besaran sudah sangat tepat. Meski menyedot anggaran cukup besar, pembangunan infrastruktur bertujuan untuk menekan ekonomi biaya tinggi, biaya logistik dan inflasi.

”Dampaknya nanti jangka panjang biaya bangun pembangkit listrik akan berkurang. Apalagi kalau biaya dana menurun, land acquisition-nya lancar, birokrasi efisien dan sebagainya,” tambah Arthur.

APLSI mengusulkan agar investasi dilistrik diberi insentif fiskal. Dengan demikian akan mengundang lebih banyak investor berinvestasi, sekaligus dapat membantu produsen melakukan ifisiensi saat investasi dan produksi. ?nsentif fiskal ini perlu diupayakan agar iklin investasi lebih kompetitif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto