APNI: Percepatan larangan ekspor mengakibatkan kerugian hingga Rp 500 miliar



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah mempercepat larangan ekspor pada penghujung Oktober 2019 mulai dirasakan dampaknya oleh sejumlah perusahaan nikel.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey dalam diskusi publik di Jakarta mengungkapkan secara total kerugian ditaksir mencapai Rp 500 miliar.

"Ada banyak perusahaan yang sudah terikat kontrak untuk vessel dan tongkang, tapi karena pelarangan ekspor yang dipercepat mereka tidak bisa apa-apa," sebut Meidy, Rabu (6/11).


Baca Juga: Tidak mudah bagi pemerintah genjot pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan investasi

Lebih jauh Meidy menjelaskan, APNI mencatat ada sekitar 20 vessel yang sudah selesai melakukan pengangkutan bijih nikel harus tertahan dan tidak bisa melakukan kegiatan ekspor. Setiap vessel diharuskan membayar biaya kelebihan waktu berlabuh sebesar Rp 300 juta per hari.

Di sisi lain, kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memastikan proses audit dan pengecekan ke lapangan masih berlangsung.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak bilang pasca rapat kordinasi di bawah Kementerian Kordinator Kemaritiman dan Investasi diputuskan untuk mempercepat larangan ekspor.

Baca Juga: Gandeng Freeport & Amman Mineral, BRMS buka opsi kerjasama bangun smelter

"Semua surat persetujuan ekspor dan rekomendasi juga berhenti, ekspor pun sementara yang masih ada di kapal sementara berhenti untuk diadakan verifikasi dan audit," ujar Yunus.

Lebih jauh Yunus memastikan, audit dan verifikasi fasilitas pengolahan smelter turut dilakukan kepada sekitar 30 perusahaan. Menurutnya, 7 perusahaan lain tidak dilakukan audit sebab pembangunan fisik smelter dari 7 perusahaan tersebut sudah nampak atau mencapai 90%.

Adapun, Yunus menambahkan pada waktu dekat direncanakan akan diadakan rapat kordinasi lanjutan di bawah naungan Kemenko Maritim dan Investasi. "Mungkin besok akan ada keputusan," sebut Yunus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .