Apresiasi harga gas US$ 6 per mmbtu, Asaki akui tantangan industri keramik masih ada



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menilai positif penandatanganan nota kesepahaman implementasi harga gas US$ 6 per MMBTU antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dengan para pelaku industri. Kendati demikian, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah dalam memajukan industri keramik nasional.

Ketua Asaki Edy Suyanto menyampaikan, kebijakan implementasi harga gas industri sebesar US$ 6 per MMBTU dapat membantu meningkatkan daya saing industri keramik yang saat ini sedang tertekan akibat pandemi Corona. Dalam hal ini, kebijakan tersebut dipercaya akan mempercepat proses pemulihan kembali industri keramik di era kenormalan baru.

“Posisi per akhir Mei 2020, tingkat utilisasi industri keramik nasional melorot tajam menjadi 30%, padahal di awal tahun 2020 masih di level 65%,” ungkap dia, Jumat (5/6) malam.


Baca Juga: Teken komitmen harga gas dengan pelanggan industri, PGN antisipasi dampak keuangan

Sebelumnya, Asaki memproyeksikan stimulus harga gas US$ 6 per MMBTU akan mampu mengangkat utilisasi industri keramik nasional ke level 80%--90% pada akhir tahun 2021. Namun, seiring adanya pandemi Corona, target tersebut kemungkinan baru bisa tercapai di tahun 2022 nanti.

Edy menambahkan, kebijakan harga gas US$ 6 per MMBTU sebenarnya sudah berlaku tanggal 13 April 2020 lalu. Harapan Asaki untuk tagihan gas di bulan Juni 2020, PGN sudah memperhitungkan kompensasi kelebihan bayar dari penurunan harga gas. Ini mengingat kondisi arus kas industri keramik tanah air yang terpapar dampak Corona.

Lebih lanjut, kebijakan harga gas yang lebih murah ini akan dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh Asaki agar tercipta industri keramik yang lebih efisien dan produktif. Misalnya dengan pembenahan internal melalui peremajaan mesin, pembaruan teknologi dengan mesin yang lebih ramah energi, hingga inovasi berupa pemanfaatan mesin digital.

Dengan upaya tersebut, Asaki berharap akan membuat industri keramik nasional lebih kompetitif dan agresif dalam menggarap pasar ekspor, terutama di regional Asia dan Australia, serta sanggup menjadi tuan rumah yang baik di negeri sendiri.

Edy menyebut, pasar industri keramik domestik saat ini terganggu oleh gempuran produk impor dari China, India, dan Vietnam. “Data impor Januari sampai April 2020 dari BPS menunjukkan angka impor keramik malah naik 13% dibandingkan tahun lalu dan yang melonjak paling tinggi adalah impor dari India sebanyak 125%,” papar dia.

Lantas, Asaki menyayangkan lambatnya pencabutan India dan Vietnam dari daftar negara yang dikecualikan dari Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau Safeguard oleh Kementerian Keuangan.

Padahal, menurut Edy, kebijakan harga gas US$ 6 per MMBTU baru akan optimal apabila didukung oleh penerapan Safeguard terhadap produk impor dari India dan Vietnam. Kemenkeu pun dianggap terkesan lamban dalam menurunakan angka impor produk keramik.

“Kemampuan produksi keramik nasional yang mencapai 540 juta meter persegi per tahun masih belum dapat terutilisasi semua akibat gangguan produk impor,” tandas dia.

Baca Juga: Asosiasi kaca sambut baik realisasi implementasi harga gas US$ 6 per MMBTU

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat