Aprindo optimistis industri ritel akan membaik di 2018



KONTAN.CO.ID - TANGERANG. Sejak 2015 sampai 2017 performa bisnis ritel kurang greget. Padahal seharusnya, industri ritel bertumbuh ketika populasi masyarakat meningkat. Hal ini disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey pada Senin (28/5).

Saat ini Aprindo memiliki 600 anggota dengan 37.000 toko yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Roya mengatakan semua peritel memiliki kesulitan yang sama, bahkan kondisi ritel underperform ini tak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di luar negeri. “Masalahnya, kenapa populasi di Indonesia meningkat tapi daya konsumsi masyarakat melambat?,” kata Roy.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi adanya daya konsumsi masyarakat yang menurun. Pertama, pelambatan konsumsi masyarakat terjadi pada saat transisi kepemimpinan presiden pada 2015, yang mana APBN pada saat itu dibentuk dari pemerintahan sebelumnya, pertengahan 2015 sendiri baru ada APBN terbaru.


“Jadi bisa dibayangkan, APBN ini tidak bisa cair untuk produktivitas masyarakat Indonesia sehingga terjadi pelambatan konsumsi, sehingga pencairan untuk dana-dana desa, dana alokasi umum dan khusus turun terlambat,” katanya.

Kedua, dinamika globalisasi terhadap internet of things sudah merajalela pada 2015 sampai 2017. Sehingga industri ritel terjadi perlambatan dalam perumbuhan. Roy mengatakan masyarakat Indonesia sendiri terbagi menjadi dua kelas, yaitu menengah ke atas dan menengah ke bawah.

Dua kelompok ini melakukan hal yang sama pada 2015-2017, di mana kelompok menengah ke atas sudah merubah pola belanjanya, yang tadinya berbondong bersama keluarga untuk mengunjungi gerai dengan luas dan menciptakan pembelian tak direncanakan, saat ini lebih suka belanja melalui online.

Sebelum tahun 2015 industri ritel mengalami pertumbuhan sebesar 15%. “Berbelanja di tempat yang luas dan besar bukan menjadi gaya hidup lagi saat ini dimana hal inimengurangi pembelian yang tak direncakan,” ujarnya.

Sementara untuk kelas menengah ke bawah, pada 2015-2017 berada dalam keadaan suffer. Pada tahun-tahun itu, banyak yang investasi yang masuk ke Indonesia tapi tak menciptakan lapangan pekejaan untuk masyarakat.

 “Selain itu harga batubara juga tertekan, kelapa sawit berkurang, sehingga produktivitas dari penambang dan karyawan lainnya tak ada produktivitas sehingga tak ada pendapatan yang tinggi pula,” papar Roy.

Hal ini sangat dicermati oleh pemerintah untuk mengangani hal ini. Sehingga pada 2018 ini sudah terlihat harapan-harapan industri ritel untuk recovery. Roy mengatakan adanya perbaikan harga komoditas, misalnya harga batubara yang meningkat, dana desa yang ditambah jadi Rp 60 triliun. “Artinya produktivitas kelas menengah ke bawah akan lebih terjaga,” katanya.

Selain itu, beberapa event besar yang akan diadakan di Indonesia pada 2018 seperti Asian Games serta Pilkada yang akan turut meningkatkan pertumbuhan industri ritel. “Pemerintah sudah bisa membaca keadaan saat ini untuk meningkatkan konsumsi,” tuturnya.

Dengan begitu, Roy berharap industri ritel akan berkembang di 2018 dan ke depannya. Ia menambahkan konsumsi tetap menjadi hal yang mendasar kebutuhan manusia yang mendasar, sehingga industri ritel dapat bertumbuh dengan adanya konsumsi masyarakat yang meningkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sofyan Hidayat