APSyFI sebut kelangkaan batubara ikut menekan industri tekstil dalam negeri



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkapkan jika kelangkaan batu bara menyebabkan krisis energi di beberapa negara, sehingga turut menekan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri.

Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mencatat ongkos energi berkontribusi hingga 25% dari keseluruhan struktur biaya industri TPT, dengan sektor serat dan filamen menjadi pengguna terbesar.

"Harga batu bara yang berada di atas US$170 per ton telah mengganggu kelangsungan industri. Selain harganya yang tinggi mengikuti fluktuasi di pasar internasional, pasokannya juga tidak mencukupi. Kami meminta pemerintah untuk intervensi agar pasokan dan harganya terjamin," ujar Redma dalam konferensi pers yang berlangsung virtual, Jumat (15/10).


Ia melanjutkan, pihaknya berharap harga batu bara untuk industri diturunkan hingga angka keekonomian yang mencapai US$70 per ton, atau menyamai harga pada 2018-2019.

Baca Juga: Dunia dilanda krisis energi, begini situasi terkini di Indonesia

Redma mengatakan ketersediaan dan keterjangkauan energi menjadi penting untuk menjawab peluang yang dimunculkan oleh kondisi di sejumlah negara pesaing. "Lockdown yang terjadi di Vietnam dan krisis energi di China dan India meninggalkan ceruk pasar, khususnya di dalam negeri, untuk diisi oleh pelaku tekstil domestik," sambungnya.

Dia menjelaskan, batu bara tidak hanya digunakan sebagai sumber energi, tetapi juga bahan baku dari gasifikasi batu bara. Redma mengakui, kondisi kelangkaan batu bara juga membuat beberapa pelaku industri TPT beralih menggunakan sumber energi lain, contohnya menggunakan PLN.

Menanggapi pernyataan Redma, Direktur Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait pemenuhan batu bara di dalam negeri.

Kemenperin telah meminta otoritas tersebut untuk menaikkan domestic market obligation (DMO) industri batu bara yang saat ini dipatok sebesar 25%. "Kami terus berkomunikasi dengan Kementerian ESDM supaya menjamin ketersediaan batu bara, atau misalnya DMO terus dijaga bahkan dinaikkan," kata Elis, Jumat (15/10).

Baca Juga: Ekonom prediksi neraca perdagangan pada September 2021 masih surplus

Selain itu, Elis juga telah mengupayakan agar produksi batu bara dinaikkan untuk memenuhi kebutuhan industri yang tinggi di masa pemulihan permintaan. Mengenai harga batu bara yang tinggi, Elis mengatakan angkanya akan otomatis turun jika pasokannya memenuhi kebutuhan.

Menurut pasar ICE Newcastle (Australia), harga batu bara turun 1,92% menjadi US$ 255/ton, namun selama 3 hari berturut-turut. Sebelumnya komoditas ini terus mengalami kenaikan sebesar 15,61% dan sempat menyentuh rekor tertinggi US$ 280/ton.

Selanjutnya: Akselerasi permintaan listrik jadi pekerjaan rumah Menteri ESDM

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi