KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana penggabungan golongan rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) kembali disuarakan oleh para politisi Komisi XI DPR RI dan
stakeholders terkait. Mereka mengklaim penggabungan dua golongan tersebut akan meningkatkan penerimaan negara. Merespon usulan tersebut, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji menilai, usulan penggabungan segmen SKM dan SPM itu jelas kurang tepat. Pasalnya, hal itu justru akan memicu persaingan yang tidak sehat pada ekosistem industri nasional hasil tembakau (IHT) di Indonesia. “Kami meyakini, usulan yang didesakkan oleh politisi Senayan tersebut akan melibas produksi hasil pertanian tembakau nasional,” tegas Agus dalam keterangan pers, Minggu (17/3).
Agus berpendapat, produksi SKM yang merupakan penyerap bahan baku tembakau nasional tidak akan mampu bersaing di pasaran dengan SPM yang sudah memiliki brand nasional. “Penolakan APTI terhadap usulan komisi XI DPR RI utamanya didasarkan pada perbedaan generik biologis SPM dan SKM. Sehingga, kebijakan terhadap kedua produk tembakau tersebut tidak dapat disatukan,” jelas Agus. Agus bahkan meyakini, usulan yang didesakkan oleh politisi Senayan tersebut akan melibas produksi hasil pertanian tembakau nasional. ”Sebab, produksi SKM yang merupakan penyerap bahan baku tembakau nasional tidak akan mampu bersaing di pasaran dengan SPM yang sudah memiliki brand nasional,” tegasnya. Sementara itu, kalangan politisi Senayan juga bersuara atas wacana tersebut. Legislator Partai Golkar Firman Soebagyo memastikan bahwa berbagai kebijakan terkait cukai rokok masih tetap ditunda implementasinya, setidaknya sampai tahun politik berakhir. Firman mengatkan selain membatalkan kenaikan cukai rokok pada 2019, pemerintah juga telah menunda penerapan kebijakan terkait penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai rokok, juga rencana menggabungkan volume produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dbengan Sigaret Putih Mesin (SPM). ”Tidak ada unsur politis di balik penundaan itu. Yang pasti, kita semua sedang sibuk dengan pemilu. Lagi pula, soal itu (penetapan tarif cukai rokok) merupakan domain pemerintah, bukan domain DPR. DPR hanya melakukan kajian saja,” tegas Firman. Penegasan Ketua Pansus RUU Pertembakauan itu sekaligus menganulir desakan dari koleganya di Komisi XI, yang sebelumnya mengusulkan untuk menerapkan penggabungan volume produksi SKM dan SPM pada 2019 ini.
Firman juga mengingatkan bahwa kebijakan simplifikasi tarif cukai itu memang berpotensi merugikan masyarakat. Utamanya para petani tembakau dan perusahaan rokok kecil. ”Harus diingat, terdapat jutaan buruh linting kretek yang juga sangat tergantung hidupnya dari industri nasional hasil tembakau (IHT),” ujarnya. Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Marsidi Husna menghimbau semua kalangan bahwa sudah seharusnya langkah Presiden Joko Widodo yang tidak menaikkan tarif cukai rokok pada tahun 2019 dan menunda aturan simplifikasi tarif cukai diapresiasi. “Penundaan kenaikan cukai ini merupakan sebagai bentuk keberpihakan Presiden Jokowi terhadap IHT kelas kecil menengah yang banyak memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT). Industri yang padat karya tersebut bisa melakukan relaksasi bisnis dan cash flow untuk berkembang sehingga lebih banyak menyerap tenaga kerja,” kata Marsidi. Lebih lanjut, LBM PBNU berharap agar pemerintah memperhatikan dengan membuat kebijakan yang melindungi stakeholders pertembakauan. Pasalnya, sektor pertembakaun memberikan kontribusi besar bagi penerimaan Negara melalui cukai hasil tembakau dan pajak yang dibayarkan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi