Perombakan yang dilakukan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada pertengahan Februari lalu terhadap susunan direksi dan penambahan nomenklatur di PT Pertamina masih menyisakan pandangan pro dan kontra. Melalui mekanisme RUPS, posisi direktur gas dihilangkan dan dua posisi direktur baru ditambahkan, yaitu direktur pemasaran ritel dan direktur logistik, supply chain, infrastruktur. Alhasil, posisi direksi Pertamina yang sebelumnya berjumlah 10, kini menjadi 11. Perombakan ini sebagai antisipasi pembentukan holding BUMN migas yang dipimpin Pertamina. Terlepas dari perombakan direksi sebagai bagian dari tahapan restrukturisasi yang lebih besar, muncul suara kontra terhadap penambahan direksi Pertamina, salah satunya dari Konfederasi SP Migas Indonesia. Lantaran tak sejalan dengan amanat Presiden Jokowi saat awal dilantik pada akhir 2014 lalu, soal pentingnya perampingan organisasi untuk efisiensi. Setidaknya, ada dua perspektif yang dapat dipakai dalam menilai efektivitas keputusan perombakan di Pertamina. Pertama, dari sisi dukungan terhadap aktivitas korporasi. Tahun ini, Pertamina memang super sibuk. Awal tahun resmi menjadi operator blok Mahakam di Kalimantan Timur. Dan punya tugas menahan penurunan produksi di blok itu dan ini tugas penting.
Perusahaan ini juga menjalankan proyek refinery development master plan (RDMP) Balikpapan. Di sisi hilir Pertamina akan melakukan penguatan infrastruktur, mulai dari penambahan tangki, kapal, sampai jetty di pelabuhan. Pertamina juga akan meneruskan pengembangan lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB), pengembangan panas bumi, dan aktivitas korporasi lainnya. Dengan sederet aktivitas tersebut, Pertamina harusnya memiliki kelincahan organisasi (organizational agility) dalam bergerak. Menurut riset dari lembaga konsultan McKinsey pada 2016, perusahaan migas harus memiliki kemampuan membentuk fluid team (satuan kerja cair) yang bisa dibentuk dalam hitungan minggu untuk mengeksekusi tugas khusus untuk kemudian segera dibubarkan setelah tugas selesai dan anggotanya bisa pindah bergabung ke satuan kerja (satker) lain yang membutuhkan keahliannya. Penambahan jumlah direktorat berpotensi membuat birokrasi dan ego silo menjadi menguat sehingga memperlambat pembentukan satker cair. Hirarki organisasi lincah harus memberikan kesempatan untuk mengadopsi pola “test and learn” kepada satker yang dibentuk. Sebagai contoh, perusahaan Statoil memberikan kebebasan penuh kepada satker teknik dalam mengatur jam kerja dan lokasi kerjanya. Hasilnya satker bebas bereksperimen dan menghasilkan purwarupa kapal selam Cap X subsea system yang bisa dikendalikan dari jarak jauh. Metode satker cair ini bisa memangkas biaya pengembangan hingga 30%. Ada juga perusahaan migas lain yang menjadi jauh lebih lincah dengan cara memotong manual SOP pengeborannya dari 1.000 halaman menjadi kurang dari 100 halaman. Dari hal yang tampak sepele ini, biaya pengeboran bisa dipangkas sekitar 30%. Menjadi tantangan bagi Pertamina agar penambahan layer direksi tidak malahan menghambat kelincahan organisasi sehingga ujungnya menciptakan inefiesiensi. Stamina organisasi akan cepat habis untuk mengawal dan mengeksekusi sederet aktivitas proyek strategis, jika layer birokrasi antar dan interdirektorat lebih banyak bersifat seperti tembok pemisah dibandingkan jembatan penghubung. Perspektif yang kedua adalah dari sisi tren industri migas nasional dan global. Menurut beberapa pengamat migas dan Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), iklim investasi di sektor hulu migas di Indonesia pada 2018 diprediksi tak akan jauh berbeda dari tahun lalu, yaitu tetap tidak menarik dibandingkan dengan negara-negara lain. Investasi hulu migas di Indonesia masih terbelenggu persoalan ketidakpastian hukum dan birokrasi yang masih jalan di tempat. Skema Gross Split yang digagas pemerintah ironisnya justru menambah ketidakpastian. Dalam laporan 'Global Petroleum Survey 2017', Indonesia menduduki posisi ke-92 dari 97 negara dalam urutan negara yang paling diminati untuk berinvestasi di sektor hulu migas. Jika tak ada kebijakan strategis, maka satu persatu perusahaan migas asing (IOCs) akan hengkang dan ini menjadi peluang bagi perusahaan migas dalam negeri (NOCs) seperti Pertamina untuk mengelola lapangan migas yang ditinggalkan. Tantangan menjadi semakin besar dengan prediksi belum akan membaiknya harga minyak dunia, untuk mampu mendekati level USD 100 per barel sampai beberapa tahun ke depan ini. Apakah perombakan direksi Pertamina sudah mempertimbangkan tren industri seperti contoh di atas dengan memperkuat daya saing Pertamina di sektor hulu ? Dalam setahun terakhir saja, sudah terjadi pergantian direksi sebanyak empat kali. Maret 2017, Elia Manik didapuk sebagai Dirut menggantikan Dwi Sucipto. Kemudian, Agustus 2017 Menteri BUMN mengganti Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia dan mengangkat Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko. Selanjutnya, November 2017 ada pengangkatan Direktur SDM dan perombakan terakhir adalah saat RUPS Februari 2018 lalu. Apakah pergantian dan perombakan direksi yang cukup intensif ini memang benar didorong oleh penguatan daya saing Pertamina dalam mengarungi bisnis migas yang semakin berat ke depan ? Setidaknya ada 3 posisi direksi yang erat berkaitan dengan fungsi pemasaran. Apakah arah Pertamina ke depan memang akan lebih mendekatkan diri ke pasar ritel, atau arahnya ke penguatan di sektor hulu ? Atau jangan-jangan perombakan direksi lebih mempertimbangkan aspek kepatuhan administratif dalam rangka menjadi perusahaan holding? Yang lebih parah adalah kalau perombakan direksi lebih disebabkan oleh tarik menarik antar kubu yang bermain di dalam Pertamina, dan bukan karena pertimbangan strategi penguatan daya saing.
Cara mudah dan efisien dalam menyusun struktur organisasi Pertamina sebagai organisasi yang agile dan adaptif terhadap dinamika industri migas global adalah benchmarking ke beberapa perusahaan migas dunia. Dengan karakteristik industri migas yang umumnya berisiko tinggi, padat modal, padat teknologi dan harus melayani masyarakat, maka perusahaan migas yang dapat masuk di jajaran papan atas perusahaan kelas dunia cocok untuk dijadikan sebagai pembanding, karena berarti sudah terbukti berhasil meramu strategi mengatasi berbagai isu terkait pengelolaan risiko, modal, teknologi, dll. Berbagai versi pemeringkatan perusahaan kelas dunia seperti Fortune 500, Forbes Global 2000, Financial Times Equity List dan beberapa versi lainnya dapat dijadikan referensi mempelajari best practices pengorganisasian perusahaan global di berbagai sektor, khususnya sektor migas. Pada akhirnya, semua kembali lagi kepada pemegang saham Pertamina untuk memperjelas arah mana yang akan diambil Pertamina ke depan dalam menghadapi konstelasi dinamika industri migas pada tataran nasional dan global dan selanjutnya mendesain struktur organisasi dan operating model yang paling tepat sebagai kendaraannya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi