KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan saham emiten properti terpantau tak sejalan dengan kinerja fundamental perusahaan. Bahkan, ada beberapa emiten dengan sahamnya terbang tinggi sepanjang tahun ini. Melansir laman Bursa Efek Indonesia (BEI), IDX Properties & Real Estate naik 51,75% sejak awal tahun alias
year to date (YTD). Beberapa emiten sahamnya terpantau naik sangat tinggi sejak awal tahun 2025. Misalnya, PT Sanurhasta Mitra Tbk (
MINA) sahamnya naik 314,9% YTD dengan
price to earning ratio (PER) -598,42x dan
price to book value (PBV) 25,53x.
PT Bukit Uluwatu Villa Tbk (
BUVA) sahamnya meroket 1.364,78% YTD, dengan PER 181,94x dan PBV 18,09x. Saham PT Diamond Citra Propertindo Tbk (
DADA) terbang 525% YTD, dengan PER 325,95x dan PBV 1,05x.
Baca Juga: Emiten Properti Kawasan Industri Masih Tertekan, Cermati Saham Rekomendasi Analis Lalu, PT Maha Properti Indonesia Tbk (
MPRO) sahamnya naik 345,54% YTD, dengan PER -1.223x dan PBV 110,19x. Saham PT Pakuan Tbk (
UANG) melesat 634,69% YTD, dengan PER -131,11x dan PBV 22,23x. Analis Fundamental BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand melihat, kenaikan Indeks Sektor Properti (IDXProperties) sebesar 53,15% YTD didorong oleh fenomena anomali yang sangat terkonsentrasi pada sekelompok kecil emiten. Ini dipicu oleh sentimen spekulatif, pengaruh konglomerasi, dan agenda aksi korporasi spesifik. Contoh utama adalah BUVA yang kenaikan sahamnya didahului oleh pengumuman
rights issue besar-besaran untuk akuisisi aset strategis dan keterkaitan kepemilikan oleh figur konglomerat. ”Investor spekulatif memberikan premi besar (
conglomeration premium) pada saham-saham ini, karena ekspektasi
asset injection atau restrukturisasi aset bernilai tinggi, yang tidak terkait dengan kinerja operasional rutin,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (20/11). Kenaikan harga yang masif tersebut dinilai Abida tidak sejalan dengan perbaikan kinerja fundamental sektor secara luas. Valuasi emiten pendorong indeks berada di level yang tidak rasional jika dibandingkan rata-rata sektor properti yang punya PER 16,1x. Valuasi ekstrem ini membuktikan bahwa harga didorong murni oleh ekspektasi non-fundamental, yaitu sentimen aksi korporasi. “Sementara, emiten properti berkapitalisasi pasar besar masih menunjukkan pencapaian
marketing sales yang loyo, yaitu sekitar 34% hingga 51% dari target tahun 2025,” ungkapnya.
Baca Juga: Rekomendasi Saham Emiten Properti di Tengah Kinerja Positif per kuartal III-2025 Menurut Abida, emiten yang mengalami kenaikan harga paling eksplosif seringkali memiliki karakteristik
low-float alias jumlah saham beredar di pasar yang rendah, terutama di segmen
mid-cap dan
small-cap. Struktur pasar yang demikian membuat saham-saham ini rentan terhadap
herd mentality dan spekulasi. Ketika narasi aksi korporasi konglomerasi, seperti
rights issue untuk akuisisi aset muncul,
low-float ini bertindak sebagai amplifikator. Sehingga, memungkinkan pergerakan harga yang cepat dan ekstrem, jauh melampaui potensi yang dapat dihasilkan oleh saham big-cap yang memiliki likuiditas pasar yang sangat dalam. Dalam dinamika spekulatif ini, narasi suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) memang hanya menjadi faktor latar belakang yang dikesampingkan atau narasi tambahan yang tidak signifikan. Secara tradisional, suku bunga tinggi menekan sektor properti karena mahalnya biaya kredit pemilikan rumah (KPR). Namun, kenaikan harga ribuan persen sejak awal tahun pada BUVA misalnya, di tengah lingkungan suku bunga tinggi menunjukkan adanya ketidakselarasan yang jelas. “Investor yang mendorong harga saham-saham ini tidak berfokus pada prospek penjualan properti residensial yang sensitif terhadap BI Rate, melainkan bertaruh pada
asset play atau transfer aset internal yang bersifat idiosinkratik dan
unlevered dari siklus properti umum,” katanya. Senior Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas menambahkan, reli saham sektor properti tahun ini lebih banyak digerakkan momentum proyek, katalis spesifik, dan spekulasi pada nama-nama seperti MINA, BUVA, UANG, DADA, dan MPRO. Sementara, pemulihan fundamental belum merata.
Baca Juga: Kinerja Emiten Properti Tumbuh pada Kuartal III 2025, Cermati Rekomendasi Analis Meski BI sudah memangkas suku bunga sampai empat kali di tahun 2025, dampaknya ke penjualan belum signifikan karena bank belum agresif menurunkan KPR, pembeli masih selektif, dan beberapa segmen masih oversupply. “Akibatnya, kenaikan IDXProperties lebih dari 50% YTD lebih ditopang emiten kecil–menengah yang sensitif sentimen, bukan penjualan yang benar-benar pulih,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (20/11/2025). Struktur pasar sektor properti yang tipis likuiditas juga membuat harga mudah bergerak ekstrem. Oleh karena itu, BI Rate lebih sering menjadi narasi pendorong daripada katalis fundamental. ”Ketika BI kembali menahan suku bunga, pasar yang sebelumnya berharap cut tambahan langsung melakukan profit taking pada saham-saham besar yang sudah reli,” ungkapnya. Prospek Kinerja dan Rekomendasi Seperti disebutkan di atas, kinerja saham dan pendapatan prapenjualan alias
marketing sales emiten properti berkapitalisasi besar dan menengah tak begitu baik. Kinerja
marketing sales mayoritas emiten properti
big cap dan
mid cap yang lesu ini terjadi di tengah suku bunga Bank Indonesia (BI) yang sudah dipangkas empat kali sepanjang tahun 2025. Tengok saja, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) mencatat
marketing sales Rp 7,6 triliun hingga September 2025, turun 12% YoY, dan menurunkan target tahunannya menjadi Rp 10 triliun. Lalu, MTLA mencatatkan kenaikan
marketing sales 4% secara tahunan alias
year on year (YoY) menjadi Rp 1,34 triliun per September 2025. Namun, pendapatan MTLA per kuartal III 2025 mengalami pelemahan menjadi Rp 1,13 triliun dari Rp 1,30 triliun pada tahun lalu, dengan laba bersih turun ke Rp 232,45 miliar. Direktur Metropolitan Land Olivia Surodjo mengatakan, pihaknya masih optimistis bisa mencapai target
marketing sales di tahun ini. “MTLA memanfaatkan momentum perpanjangan insentif PPN DTP, hingga menghadirkan inovasi produk hunian untuk mencapai target
marketing sales,” katanya kepada Kontan, Kamis. Saham pun CTRA tercatat turun 11,73% YTD dan MTLA sahamnya turun 6,25% YTD. Sukarno melihat, penahanan suku bunga BI di 4,75% pada November 2025 sebenarnya juga bertolak belakang dengan ekspektasi pasar yang berharap ada pemangkasan lanjutan. “Kombinasi ekspektasi pasar yang tidak terpenuhi dan realisasi
marketing sales yang belum pulih inilah yang membuat sektor properti kembali tertekan dan memicu koreksi harga,” ungkapnya. Di tahun 2026, potensi pemulihan emiten properti diperkirakan lebih nyata seiring dengan stabilnya inflasi dan potensi ruang pelonggaran suku bunga yang masih terbuka. Dalam kondisi pasar yang belum sepenuhnya pulih, emiten dengan pendapatan berulang alias
recurring income kuat, misalnya yang memiliki pendapatan sewa komersial atau portofolio stabil, cenderung lebih defensif dan tahan tekanan, “Sementara nama-nama
growth seperti RISE, MPRO, dan UANG tetap berpotensi
out perform tetapi dengan volatilitas tinggi,” katanya.
Sukarno pun merekomendasikan
accumulative buy untuk saham emiten properti dengan PBV di bawah 1x, yaitu BSDE, CTRA, SMRA, dan BKSL. Target harga untuk masing-masing emiten itu adalah Rp 1.050 - Rp 1.140 per saham, Rp 1.000 - Rp 1.060 per saham, Rp 410 - Rp 426 per saham, dan Rp 150 - Rp 160 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News