Silang pendapat antaranalis terjadi menyikapi pergerakan rupiah yang makin payah belakangan ini. Beberapa pertanyaan muncul menyikapi hal tersebut. Mulai dari perbedaan pandangan, langkah yang harus ditempuh pemangku kebijakan hingga perbaikan fundamental ekonomi yang bisa menjadi bantalan menahan hantaman dinamika global. Sebelum menjawab persoalan tersebut, kita harus pahami fluktuasi rupiah umumnya disebabkan faktor eksternal dan domestik. Untuk faktor eksternal, aroma penguatan dolar AS sudah dirasakan sejak akhir 2017, ditandai lolosnya UU Pengurangan Pajak & Penambahan Lapangan Kerja (The Tax Cuts & Jobs Act). Kebijakan ini direspon positif pelaku usaha sebagai tanda bangkitnya ekonomi AS. Respons itu dibaca positif pasar yang membuat dolar AS cenderung menguat. Logikanya, turunnya pajak korporasi dan perorangan mendorong bergeraknya sektor riil yang ditopang tambahan investasi dan meningkatnya konsumsi. Ekspektasi naiknya volume produksi dan penguatan daya beli masyarakat akan mendorong peningkatan konsumsi dalam negeri yang membuat dunia internasional yakin ekonomi AS akan membaik. Situasi ini memperkuat framing global bahwa dollar AS memang asset yang aman.
Reformasi perpajakan ini juga berdampak pada inflasi AS lewat mekanisme naiknya konsumsi masyarakat yang mendorong naiknya permintaan. Data indeks pengeluaran pribadi sebagai acuan inflasi AS, Maret 2018 yoy tercatat naik menjadi 1,9%, mendekati target konsensus (2%). Pemerintah AS tentu akan menjaga kredibilitas melalui realisasi inflasi di bawah angka konsensus. Upaya itu mengerek ekspektasi pasar The Fed akan lebih agresif naikkan suku bunga acuan (FFR). Selain itu, langkah The Fed melakukan balance sheet reduction sejak 2017 ikut memberikan tekanan pada pasar keuangan dunia. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Pemerintah AS terapkan quantitatif easing (QE) menggelontorkan miliaran dolar untuk mendorong sektor riil yang terpuruk akibat krisis keuangan global 2008/2009. Sejalan terus membaiknya perekonomian AS, The Fed mulai mengkombinasikan kebijakan peningkatan FFR dengan balance sheet reduction, yang pada prinsipnya bertahap mengurangi kepemilikan The Fed atas obligasi Pemerintah AS (UST) dan mortgage back securities (MBS) yang diakumulasi selama QE. Efeknya adalah ketersediaan likuiditas dolar AS di pasar. Masih berkaitan dengan reformasi perpajakan AS, turunnya pajak korporasi dari 35% ke 21%, dan pajak perorangan dari 39,6% ke tiga golongan pajak : 21%; 25%; dan 35% , jelas mempengaruhi pendapatan negara. Alih-alih turunkan pengeluaran, pemerintah AS justru menambah pengeluaran. Posisi ini mendorong pemerintah AS menerbitkan obligasi dalam jumlah lebih besar sehingga yield-nya naik menjadi 3,10%, tertinggi sejak 2013. Kenaikan yield ini mendorong bergesernya investasi masuk ke AS. Pergeseran modal itu seperti vitamin yang membuat dolar AS semakin perkasa. Semua kondisi di atas membawa dampak besar pada nilai tukar negara di dunia, termasuk rupiah. Ditambah potensi naiknya harga minyak dunia, naiknya tensi geopolitik AS dengan Iran, dan belum selesainya isu perang dagang (trade war) semakin mewarnai dinamika ketidakpastian global yang menekan hampir semua mata uang dunia (broad based). Saat ini, kita menghadapi berkurangnya likuiditas secara global yang dapat memicu tekanan depresiasi nilai tukar berbagai negara. Faktor domestik Berlanjutnya penguatan dollar AS atas rupiah pekan terakhir ini cukup meresahkan pelaku pasar. Kekhawatiran itu sejatinya tidak perlu ada. Justru akan meningkatkan ekspektasi yang menambah tekanan terhadap rupiah. Pemerintah dan BI pasti tidak akan pernah membiarkan rupiah terdepresiasi lebih dalam. Sejauh ini, BI terus menempuh langkah untuk meminimalkan pelemahan rupiah melalui stabilisasi di pasar valas dan SBN (dual intervention) secara terukur dan tepat waktu. Pesan BI sangat jelas, rupiah tidak boleh terdepresiasi terlalu cepat dan berlebihan. Ini akan menggangu pelaku usaha melakukan perhitungan bisnisnya. Tentu tidak baik bagi perekonomian Indonesia. Ke depan, BI terus memperkuat upaya stabilisasi rupiah sesuai fundamentalnya dengan tetap mendorong mekanisme pasar. BI berada di pasar untuk memastikan tersedianya likuiditas dalam jumlah yang memadai baik valas atau rupiah. Dan pasti memonitor dengan seksama perkembangan perekonomian global dan dampaknya terhadap domestik. BI juga persiapkan strategi pertahanan kedua bersama institusi terkait. Mendorong peningkatan penggunaan skema lindung nilai bagi korporasi domestik yang memiliki mitra bisnis luar negeri, mendorong penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi dagang antar negara, hingga kesepakatan bilateral currency swap agreement (BCSA) dengan bank sentral lain bila diperlukan. Satu sinyal kuat BI, jika tekanan terhadap rupiah berlanjut dan berpotensi menghambat pencapaian sasaran inflasi serta mengganggu stabilitas sistem keuangan, BI tidak menutup ruang penyesuaian suku bunga acuan (BI-7D-RR). Seperti yang diputuskan Rapat Dewan Gubernur BI naikkan BI-7D-RR dari 4,25% ke 4,50%. Sejatinya, fundamental ekonomi Indonesia saat ini dalam kondisi yang baik, dan diyakini mampu menahan hantaman eksternal. Ini terlihat dari laju inflasi sesuai target kisaran 3,5+1%, defisit transaksi berjalan (CAD) lebih rendah dari batas aman 3% PDB, cadangan devisa US$ 124,9 miliar setara dengan pembiayaan 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah (standar internasional + 3 bulan impor). Pemerintah juga mendorong investasi di bidang ekspor dan pariwisata. Dengan harapan langkah tersebut dapat membalikkan posisi CAD menjadi surplus transaksi berjalan (CAS). Negara yang memiliki surplus dalam ekspor-impor barang dan jasa, lebih elastis dan tahan banting (resilient) terhadap guncangan eksternal, termasuk gejolak mata uang global. Ke depan, BI terus berkolaborasi dengan otoritas terkait dan industri keuangan (asosiasi), guna memperdalam dan mengefisienkan harga asset (price discovery) di pasar valas dan pasar uang. Termasuk penambahan variasi instrumen, penguatan infrastruktur pasar keuangan, dan penguatan kredibilitas suku bunga acuan pasar (market reference rate).
Pemerintah dan BI juga harus semakin memperkuat koordinasi guna memastikan terjaganya inflasi sesuai sasaran. Kemudian berjalannya reformasi struktural secara efektif. Kita juga punya peran menjaga rupiah dengan tidak mudah terprovokasi dan ikut menyebarkan informasi yang belum tentu benar. Dengan koordinasi seluruh elemen bangsa, didukung fundamental ekonomi dan optimalisasi kepercayaan global Indonesia dan keamanan, fluktuasi rupiah terhadap dollar AS bisa terjaga.
Puji Widodo Asisten Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi