Arison Ibnur sering pentas di panggung dunia berkat hobi menari



Salah satu koreografer ternama di Indonesia adalah Arison Ibnur. Profesi ini telah mengantarkannya ke banyak panggung dunia. Keyakinannya sebagai seniman tari pun kian mantap, dengan berbagai prestasi di tingkat nasional ataupun internasional. Tak heran, seiring namanya yang melambung, Arison memiliki penghasilan besar dari pentas tari.Pria kelahiran Padang, 15 Mei 1952 ini mengaku telah menari sejak umur lima tahun. Perkenalan Arison Ibnur dengan dunia tari bermula saat ia belajar silat tradisi Minangkabau di kampungnya. Arison yang kerap dipanggil Omi ini langsung jatuh hati dengan pencak atau kembangan yang memiliki banyak gerakan tari. "Saya belajar tari pertama kali dari pencak yang mengutamakan keindahan," ujarnya. Namun, selepas SMA pada 1970, Omi belum tertarik menimba ilmu di dunia tari. Ia justru melanjutkan sekolah di Akademi Teknologi Industri di Padang. Lulus dari sana, Omi pun bekerja di PT Semen Padang. Singkat cerita, Omi memperoleh beasiswa ke Australia. Sembari kuliah, ia tetap menyalurkan hobinya menari. "Di sana, saya juga ikut kursus tari dan musik di Opera House," katanya. Sekembalinya ke Indonesia, Omi pun memutuskan berhenti bekerja. Dengan mantap, ia mengambil kuliah di jurusan seni tari Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Tak heran, jika Omi tak bisa melupakan dunia tari. Bakat seninya sudah terasah sejak kecil. Saat kelas dua SMP, Omi sudah mampu menjadi koreografer. Bahkan, saat duduk di Sekolah Dasar (SD), Omi telah mengelilingi Sumatera untuk naik pentas dan mendapat penghasilan. Saat duduk di bangku SMA, ia membentuk grup Scorpini Dance di Padang. Bersama grup tarinya, Omi sering menjadi utusan dalam berbagai misi kebudayaan di luar negeri. "Pada 1988, saya menjadi pengajar tari melayu yang diutus Pemerintah RI ke Malaysia," ujarnya.Omi, dosen sekaligus penari, telah menciptakan 300 tarian yang telah dipentaskan di berbagai festival, baik di Indonesia maupun mancanegara. Seperti, American Dance Festival tahun 1984 dan 1986, Singapore Arts Festival (1984, 1988, dan 2001), International Folk Festival di Prancis, Spanyol, Austria, Italia, Korea, Jepang, Amerika dan banyak lainnya.Kemampuannya dalam seni tari pun makin lengkap, dengan menguasai manajemen seni, ilmu yang ditimbanya melalui program beasiswa di Amerika. Menurutnya, kemampuan koreografi dibangun dengan mempelajari semua ilmu pendukungnya. Karena dalam berkarya. seorang koreografer harus mampu melihat dari berbagai perspektif, baik sosial, politik, budaya, ataupun bisnis. Tahapan berikutnya, barulah melatih kepekaan dan berimajinasi untuk menghasilkan ide sebuah karya yang artistik. Dalam tahapan itulah seseorang dibedakan antara koreografer atau hanya sebatas menata gerak. Omi juga mengingatkan, ilmu bisnis juga diperlukan bagi seniman. Seorang seniman harus mampu menghidupi diri dan kegiatan berkeseniannya. Kemandirian finansial menjadi syarat agar seniman tidak mudah didikte oleh klien. Meski kini tinggal di Jambi, Omi tak pernah sepi pementasan. Dalam satu atau dua pekan, ia bisa berpindah kota atau negara untuk mementaskan koreografi ciptaannya. Bahkan, sejak Mei hingga Desember, Omi bisa menggarap lima hingga enam proyek per bulan. Ia tak punya tarif pasti dalam setiap pekerjaannya. Mulai dari yang cuma-cuma, hingga dibayar ratusan juta untuk setiap kali pementasan. "Penghasilan saya lebih dari Rp 50 juta per bulan," ujarnya tanpa menyebut angka pasti. Hanya, kini, Omi menyimpan kekhawatiran karena masyarakat mulai meninggalkan kesenian dan beralih kepada kegiatan perekonomian saja. "Padahal, saya sudah membuktikan bahwa seni tari bisa membawa kesejahteraan," tandas Omi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi