KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pasar keuangan domestik tertekan selama perdagangan pekan lalu. Arah suku bunga Federal Reserve (the Fed) hingga Pemilu Amerika Serikat (AS) menjadi pemicu koreksi pasar saham, surat utang, serta nilai tukar rupiah. Tim riset Syailendra Capital mengamati, ketiga indeks saham utama AS mengalami konsolidasi, setelah berhasil mencetak level tertinggi (ATH) di minggu sebelumnya.
Dow Jones (DJI) memimpin pelemahan sebesar -2,00% Week on Week (WoW), disusul oleh S&P 500 yang turut melemah -0,54% WoW. Sedangkan, Nasdaq menguat tipis +0,23% WoW. Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) turut mengalami pelemahan moderat -0,84%WoW ke level 7.694 dan diikuti dengan arus keluar dana asing
(foreign outflow) sekitar Rp 3,01 triliun sepanjang 21-24 Oktober 2024.
Dari pasar surat utang, Indonesia Goverment Bond 10 Tahun naik ke level 6,75% dibandingkan pekan sebelumnya 6,65%. Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah ini mengikuti pergerakan imbal hasil US Treasury 10 tahun yang naik ke level 4,2%. Akibatnya, terjadi
foreign outlow di pasar SBN sebesar Rp 4,53 triliun, sedangkan di pasar SRBI mencatat arus masuk
(foreign inflow) sebesar Rp 0,91 triliun.
Baca Juga: Dibayangi Konflik Timur Tengah, Rupiah Diperkirakan Lanjut Melemah Selasa (29/10) Nilai tukar rupiah pun terkena imbas aliran keluar dana asing tersebut dengan mengalami pelemahan sekitar -1,12% WoW ke level Rp 15.635 per dolar AS. Mata uang garuda terkoreksi di tengah ketidakpastian pasar yang mengerek indeks dolar (DXY) naik ke level 104. "Mendekatnya pemilihan presiden AS turut memperkuat dolar karena investor memposisikan diri menjelang pemungutan suara awal bulan depan," ungkap Syailendra Capital dalam riset yang dibagikan, Senin (28/10). Terpantau, nilai tukar rupiah tertekan sekitar -3,41% dalam satu bulan terakhir, seiring dengan ketidakpastian global, mulai dari perang Timur Tengah, stimulus China, hingga kemungkinan kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS. Syailendra Capital mencermati, tekanan bagi rupiah juga dipengaruhi meningkatnya permintaan terhadap dolar AS yang didorong oleh data ekonomi dan tenaga kerja terbaru Amerika yang cukup solid. Ini terlihat dari Klaim Pengangguran Awal AS turun tak terduga menjadi 227 ribu dari 242 ribu untuk pekan yang berakhir 18 Oktober 2024.
Baca Juga: Rupiah Spot Ditutup Melemah ke Rp 15.724 Per Dolar AS Pada Hari Ini (28/10) Selain itu, S&P Global US Manufacturing PMI naik menjadi 47,8 pada Oktober 2024, lebih tinggi dari perkiraan 47,5 dan sebelumnya 47,3. S&P Global US Services PMI juga naik tipis ke 55,3 dari 55,2. Berdasarkan data ekonomi dan tenaga kerja AS yang solid tersebut, pasar kini memperkirakan Federal Reserve akan lebih moderat dalam kebijakan moneternya dibanding perkiraan sebelumnya. Proyeksi saat ini mengindikasikan potensi pemangkasan suku bunga kurang dari 50bps untuk sisa tahun ini, dengan kemungkinan penurunan 25bps pada November. Dari Asia, rupiah dipengaruhi kebijakan Bank sentral China (PBoC) memangkas suku bunga loan prime ke rekor terendah untuk mendukung ekonomi yang melemah. Adapun untuk tenor 1 Tahun (sebagai acuan pinjaman korporasi dan rumah tangga) dipangkas 25 bps menjadi 3,1%. Sedangkan, tenor 5 Tahun (sebagai acuan untuk hipotek/mortgage) dipotong 25 bps menjadi 3,6%. Keputusan ini sejalan dengan pernyataan Gubernur PBoC, Pan Gongsheng, yang menyebut bahwa suku bunga loan prime akan diturunkan sekitar -20–25 bps. Pan juga membuka kemungkinan pengurangan rasio cadangan wajib minimum bagi bank komersial pada kuartal IV-2024.
Baca Juga: IHSG Turun 0,78% ke 7.634 Senin (28/10), AMRT, INKP, ANTM Top Gainers LQ45 Di sisi lain, rupiah dipengaruhi International Monetary Fund (IMF) yang memperkirakan inflasi Indonesia stabil di 2,3% hingga akhir 2024 dan mencapai 2,5% pada 2025, dalam World Economic Outlook edisi Oktober 2024. Sementara itu, inflasi global diprediksi mencapai 3,5% di akhir 2025, sedikit di bawah rata-rata 3,6% (2000-2019). Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan tetap stabil di 3,2% untuk tahun 2024 dan 2025.
Syailendra Capital turut melihat nilai tukar rupiah dipengaruhi keputusan Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Presiden No. 139/2024 yang menempatkan pengawasan Kementerian Keuangan langsung di bawah presiden, dan bukan lagi di bawah Kemenko Perekonomian. "Presiden juga meminta para menteri meninjau ulang anggaran, mengurangi acara seremonial, dan membatasi perjalanan ke luar negeri untuk efisiensi biaya. Beliau (Prabowo) berkomitmen mengurangi birokrasi dan mengatasi
bottleneck yang dikhawatirkan oleh investor, terutama karena jumlah kementerian yang lebih banyak dibanding era Joko Widodo," jelas Syailendra Capital. Syailendra Capital menyebutkan bahwa terdapat berbagai rilis data ekonomi yang perlu dipantau selama perdagangan pekan ini.
Mulai dari US JOLTs Job Openings pada 29 Oktober, Euro Area & US GDP Growth Rate pada 30 Oktober, BoJ Interest Rate Decision, Euro Area Inflation Rate, US PCE Price Index pada 31 Oktober, serta tingkat inflasi Indonesia, US Unemployment Rate & NFP AS pada 1 November. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati