Arus Kas Pertamina Negatif, Pengamat: Harus Ada Kepastian Bayar Kompensasi BBM



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah menyatakan bahwa keekonomian Pertalite, Solar, Minyak Tanah, Gas LPG sudah jauh di atas harga asumsi Indonesia Crude Price (ICP) yang ditetapkan US$63 per barel. Saat ini harga keekonomian meningkat tajam sejalan dengan ICP yang bertengger di atas US$ 100 per barel.

Seperti diketahui di, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan demikian harga keekonomian minyak tanah berubah menjadi Rp 10.198 per liter, solar menjadi Rp 12.119 per liter, gas LPG Rp 19.579 per kilogram, dan pertalite menjadi Rp 12.665 per liter.

Menurut Sri Mulyani, dengan perubahan tersebut, arus kas Pertamina sejak awal tahun ini manjadi negatif karena harus menanggung selisih antara harga jual eceeran dengan harga keekonomian dengan harga ICP di atas  US$ 100 per barel.


“Tentu kalau dia (Pertamina) harus impor bahan bakar, dia (Pertamina) juga membayarnya dalam bentuk dolar. Ini yang menyebabkan kondisi keuangan Pertamina menurun,” ujar Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Kamis (19/5).

Menurut dia, arus kas operasional pertamina pada Maret 2022 tercatat negatif US$ 2,44 miliar. Jika tidak ada tambahan dari pemerintah, pada Desember 2022, arus kas operasionalnya akan defisit US$ 12,96 miliar. Selain itu seluruh rasio keuangan Pertamina juga mengalami pemburukan yang signifikan sejak awal tahun ini, Hal ini dapat menurunkan credit rating Pertamina dan juga akan berdampak pada credit rating pemerintah.

Abra P.G. Talatov, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance  (Indef) memandang bahwa pemerintah harus segera memberikan kepastian waktu pembayaran kompensasi atas penjualan  bahan bakar minyak (BBM) dan gas LPG  kepada PT Pertamina (Persero) yang  total hingga tahun ini diperkirakan mencapai Rp324,5 triliun.  Pencairan kompensasi atas pengadaan dan pendistribusian BBM oleh Pertamina jangan hanya di atas buku, tapi harus direalisasikan langsung.

“Pembayaran kompensasi harusnya di bulan apa, jadi kalau memang belum cair itu lamanya dimana. Dari sisi audit lama atau pencairan, itu semua harusnya transparan. Untuk lima bulan 2022 saja sudah mencapai Rp100 triliun. Mengapa tidak segera dicairkan padahal sudah diaudit BPK?,” ujar ujar Abra dalam keterangannya, Jumat (20/5).   Pemberian kompensasi kepada Pertamina adalah  konsekuensi atas pemberian subsidi  untuk BBM jenis Solar dan LPG 3kg serta keputusan pemerintah menetapkan Pertalite  masuk Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBBKP) pada Maret 2022 yang berlaku surut. Pertamina  menyediakan Pertalite dengan harga  pasar tapi dijual dengan harga Rp7.650 per liter. “Makanya, selisihnya menjadi kompensasi yang wajib ditutup pemerintah,” kata Abra.

Menurut dia, keterlambatan pemerintah membayar utang kompensasi akan mempengaruhi reputasi Pertamina dalam mencari investor saat menerbitkan obligasi. Karena itu, Pemerintah diminta untuk memikirkan hal itu. Kalau peringkat kredit turun karen pemerintah terlambat bayar utang,  Pertamina terkena penambahan biaya bunga. “Ada inefisiensi dalam penerbitan obligasi, ada tambahan biaya cost of fund yang disebabkan keterlambatan pembayaran piutang oleh pemerintah,” katanya.

Abra setuju kebijakan Menteri Sri Mulyana untuk menambah anggaran subsidi bagi Pertamina. Pasalnya, Pertamina tidak diberikan keleluasaan menyesuaikan harga di sisi lain harga jual jauh dibawah keekonomian. “Tambahan subsidi mendesak memang,” ujarnya.

Kendati pemerintah sudah mendapatkan lampu hijau untuk tambahan subsidi, lanjut Abra, tidak boleh dilupakan target pemerintah ubah mekanisme subsidi jadi subsidi tertutup. Kebijakan subsidi ini terhadap komoditas tidak bisa terus didiamkan. Tambahan subsidi saat ini saja karena Indonesia mendapatkan windflow dari tax sehingga dari sisi anggaran fiskal memungkinkan.

“Tapi kalau dibiarkan semisal APBN nantinya ngga bisa tutup suabidi, jadi bom waktu juga. Pemerintah tak bisa terlena harus percepat reformasi subsidi energi. Jadi nanti tambahan subsidi kompensasi bisa ditekan,” ujarnya.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, mengatakan penugasan BBM seperti sekarang pada dasarnya bertujuan menjaga agar negara hadir dalam pemenuhan kebutuhan energi masyarakat. Skema kompensasi yang diberikan kepada Pertamina pun dinilai sudah tepat. “Tapi yang harus jadi perhatian adalah waktu pembayaran kompensasi,” katanya.

Menurut Mulyanto, masyarakat harus mengetahui bahwa Pemerintah menjanjikan adanya kompensasi ketika harga BBM dibawah harga keekonomian, akan tetapi mekanisme pembayarannya kerap jadi masalah. Ujungnya yang harus menerima dampaknya tentu badan usaha yang ditugaskan dalam hal ini Pertamina.

"Sekarang ini masalahnya, waktu pembayaran kompensasi yang tidak reguler. Karenanya saya mendesak pemerintah agar waktu untuk membayar dana kompensasi ini sama seperti membayar dana subsidi, secara reguler dan tepat waktu," katanya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini