AS Akan Tambahkan Lebih dari 30 Perusahaan China ke Daftar Hitam Perdagangan



KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Pemerintahan Joe Biden berencana memasukkan lebih dari 30 nama perusahaan China ke dalam daftar hitam perdagangan AS. Hal ini dilakukan untuk mencegah perusahaan terkait membeli keperluan dari AS.

Kebijakan Biden ini secara khusus menargetkan perusahaan China yang diduga terlibat dalam proyek militer negara. AS khawatir akan ada ancaman pencurian data selama kegiatan perdagangan berlangsung.

Dilansir dari Bloomberg, salah satu perusahaan yang akan masuk ke daftar hitam, atau Entity List, adalah Yangtze Memory Technologies.


Langkah ini diperkirakan akan memicu eskalasi terbaru dalam konflik AS-China di sektor teknologi. Bulan Oktober lalu, pemerintahan Biden juga telah menerapkan pembatasan serupa.

Baca Juga: Hadapi Pembatasan AS, China Siapkan Paket US$ 143 Miliar untuk Perusahaan Chip

Saat itu, Departemen Perdagangan AS menambahkan 31 organisasi. Yangtze Memory saat itu masih dipantau dan masuk ke dalam Unverified List karena otoritas AS masih belum sanggup membuktikan bahwa perusahaan tersebut tidak mendukung militer China.

Yangtze Memory adalah pembuat semikonduktor 3D NAND terbesar di China. Perusahaan ini memproduksi chip memori untuk smartphone dan perangkat komputasi lainnya. 

China dengan tajam mengkritik langkah AS, dengan alasan bahwa pemerintah Amerika berusaha menghentikan kebangkitan industri mereka. Minggu ini China mengajukan protes ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) agar membatalkan kontrol perdagangan yang diberlakukan AS.

Baca Juga: Jack Dorsey: Twitter yang Sekarang Berbeda dengan Twitter yang Dulu

Bagi China, kebijakan AS itu mengganggu perdagangan global dan rantai pasokan.

Pemerintah AS saat ini memberlakukan pembatasan chip dengan alasan langkah itu diperlukan untuk menghentikan China menjadi ancaman ekonomi dan militer.

Pemerintahan Biden ingin memastikan pembuat chip negara itu tidak mengamankan kemampuan untuk membuat semikonduktor canggih yang akan memperkuat militer China.