KONTAN.CO.ID - Jakarta. Ekonomi Amerika Serikat (AS) terancam jatuh jurang resesi. Apa itu resesi ekonomi? Apakah resesi AS akan mempengaruhi Indonesia? AS berpotensi kuat mengalami resesi ekonomi Ini setelah Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, menaikkan suku bunga acuan hingga 75 basis poin pada pekan lalu. Ancaman resesi juga seiring dengan tingkat inflasi AS yang tinggi dan kondisi pasar keuangan yang tidak stabil. Mengutip keterangan di website Otoritas Jasa Keuangan, resesi ekonomi adalah suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara sedang memburuk yang terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang negatif, pengangguran meningkat, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Dampak resesi ekonomi antara lain: 1. Perlambatan ekonomi akan membuat sektor riil menahan kapasitas produksinya sehingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan sering terjadi bahkan beberapa perusahaan mungkin menutup dan tidak lagi beroperasi. 2. Kinerja instrumen investasi akan mengalami penurunan sehingga investor cenderung menempatkan dananya pada bentuk investasi yang aman. 3. Ekonomi yang semakin sulit pasti berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat karena mereka akan lebih selektif menggunakan uangnya dengan fokus pemenuhan kebutuhan terlebih dahulu.
Baca Juga: Ekonomi AS Diramal Selangkah Lagi ke Jurang Resesi, Tahun Ini atau Tahun Depan? Dampak resesi ekonomi AS ke Indonesia Resesi ekonomi di AS akan berpengaruh besar terhadap perekonomian global. Pasalnya, perekonomian AS merupakan yang terbesar di dunia. Sedangkan bagi Indonesia, AS adalah mitra dagang utama. Resesi ekonomi AS akan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut, terdapat beberapa risiko yang harus diwaspadai pemerintah terkait ancaman resesi AS. Pertama, keluarnya modal asing di pasar surat utang domestilk. Ini karena akan ada penyesuaian tingkat imbal hasil (yield) US Treasury dengan kenaikan suku bunga The Fed. Penyesuaian akan membuat spread antara yield US Treasury dan yield Surat Berharga Negara (SBN) di tenor yang sama semakin menyempit. “Investor asing cenderung mengalihkan dana ke aset yang aman, memicu capital outflow di emerging market. Pelemahan nilai tukar rupiah hanya salah satu dampak turunan dari sinyal resesi AS,” tuturnya kepada Kontan.co.id, Senin (20/6). Kedua, likuiditas di pasar akan semakin menyempit akibat terjadinya perebutan dana antara pemerintah dan perbankan. Di satu sisi, perbankan membutuhkan likuiditas untuk mengejar pertumbuhan kredit yang sempat melandai di tengah pandemi Covid-19. Menurut Bhima, pemerintah harus turut menjaga tingkat pembiayaan untuk mengembalikan defisit di bawah 3%, sehingga akan memicu dana deposan domestik berpindah ke SBN. Ia mengingatkan crowding out juga sangat membahayakan kondisi likuiditas disektor keuangan. Ketiga, kenaikan suku bunga The Fed rentan diikuti kenaikan tingkat suku bunga di negara berkembang. Sementara itu, tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap menghadapi kenaikan suku bunga pinjaman.
“Imbasnya proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansinya,” kata Bhima. Keempat, dikhawatirkan akan terjadi imported inflation sebagai akibat membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi. Situasi ini, menurut Bhima, dipicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. “Indeks dollar mengalami kenaikan 8,7% secara year-to-date menjadi ke level 104,6. Beban biaya produksi terutama bagi perusahaan yang bahan baku nya bergantung pada impor dapat berisiko melemahkan PMI manufaktur,” imbuh Bhima. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto