KONTAN.CO.ID - PYONGYANG. Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi kepada dua pejabat Korea Utara yang disebut-sebut memimpin pengembangan rudal nuklir di negara tersebut. Kementerian Keuangan AS menyebut nama dua orang tersebut sebagai Kim Jong-sik dan Ri Pyong-chol, dan mengatakan keduanya adalah "pemimpin kunci" program rudal balistik Korut. Sebelumnya, Dewan Keamanan PBB baru saja memberlakukan sanksi baru terhadap Korut pada Jumat (22/12) sebagai tanggapan uji coba rudal balistik.
Korut mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah "deklarasi perang" dan setara dengan blokade ekonomi total. Sanksi baru AS akan memblokir transaksi yang dilakukan oleh dua orang tersebut di AS, yang pada dasarnya membekukan aset-aset di Amerika yang mungkin mereka miliki. Kedua pria tersebut kerap berfoto bersama pemimpin Korut Kim Jong-un, saat peluncuran rudal. Pada tahun lalu, Korut telah menguji jenis rudal yang lebih ambisius lagi. Korut juga mengklaim rudalnya saat ini dapat menjangkau seluruh wilayah Amerika Serikat. Sebuah penyelidikan
Reuters pada Mei lalu, kedua orang tersebut, bersama dengan pengembang senjata Jang Chan-ha, dipilih sendiri oleh Kim Jong-un dan sangat populer. Perilaku mereka di sekitar Kim, tulis
Reuters, "Sangat berbeda dengan sikap pejabat senior lainnya, yang kebanyakan membungkuk dan memegang tangan mereka di mulut saat berbicara dengan pemimpin muda tersebut." Sanksi PBB yang diberlakukan: - pengiriman produk bensin mencapai 500.000 barel per tahun, dan minyak mentah mencapai empat juta barel per tahun
- Semua warga Korut yang bekerja di luar negeri harus kembali ke kampung halamannya dalam waktu 24 bulan, untuk membatasi sumber vital mata uang asing - Larangan ekspor barang-barang Korut, seperti mesin dan peralatan listrik Sanksi PBB tersebut merupakan tanggapan atas peledakan rudal balistik Pyongyang tanggal 28 November, yang menurut AS merupakan rudal paling dahsyat. Sebagai tanggapan, kantor berita resmi Korut,
KCNA menulis: "Amerika Serikat benar-benar takut pada pencapaian kekuatan nuklir negara yang dicatat sejarah, dan mereka semakin panik untuk menjatuhkan sanksi terberat yang pernah ada dan tekanan pada negara kita."
Editor: Barratut Taqiyyah Rafie