AS Larang Penggunaan Pewarna Merah No. 3 untuk Makanan, Permen, dan Obat-obatan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pewarna makanan merah (Red Dye) No. 3, yang juga dikenal dengan nama erythrosine, telah lama menjadi subjek kontroversi dalam industri makanan dan obat-obatan.

Keputusan terbaru dari pemerintah AS, yang dipimpin oleh Presiden Joe Biden, untuk melarang penggunaan pewarna ini dalam produk makanan dan obat yang dikonsumsi, merupakan langkah besar dalam upaya perlindungan kesehatan publik.

Keputusan ini mengikuti panjangnya sejarah penelitian yang menunjukkan potensi bahaya pewarna ini bagi kesehatan manusia dan hewan.

Penggunaan Pewarna Merah No. 3 dalam Produk Makanan dan Obat


Mengutip sciencealert, di Amerika Serikat, Red Dye No. 3 digunakan dalam hampir 3.000 produk makanan dan obat. Pewarna ini banyak ditemukan pada permen, camilan, produk buah, serta berbagai obat-obatan.

Baca Juga: Bill Gates Ungkapkan Kesalahan Terbesarnya yang Rugikan Perusahaan US$400.000.000.000

Pewarna ini dikenal memberikan warna merah yang mencolok pada produk-produk tersebut, termasuk pada buah ceri maraschino yang menjadi salah satu contoh utama produk yang bergantung pada Red Dye No. 3 untuk mempertahankan warna ikoniknya.

Namun, meskipun telah ada bukti ilmiah yang menunjukkan hubungan antara penggunaan pewarna ini dan kanker pada hewan, FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) sebelumnya tidak melarangnya pada makanan dan obat.

Keputusan ini bertolak belakang dengan langkah-langkah yang sudah diambil oleh negara-negara lain yang lebih dulu mengeluarkan larangan serupa.

Bukti Ilmiah yang Menunjukkan Bahaya Pewarna Merah No. 3

Pada tahun 1990, FDA telah menentukan bahwa Red Dye No. 3 harus dilarang dalam produk kosmetik karena adanya hubungan dengan kanker tiroid pada tikus jantan.

Meskipun demikian, penggunaan pewarna ini dalam makanan terus berlanjut, sebagian besar karena tekanan dari industri makanan yang menginginkan pewarna tersebut tetap digunakan untuk menjaga daya tarik produk mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga kesehatan di AS menunjukkan bahwa pewarna sintetis, seperti Red Dye No. 3, berpotensi menimbulkan efek neurobehavioral pada anak-anak, seperti gangguan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).

Sebuah laporan pemerintah California pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa pewarna sintetis dapat memengaruhi sistem neurotransmitter di otak dan menyebabkan perubahan pada struktur otak yang memengaruhi aktivitas, memori, serta kemampuan belajar.

Baca Juga: Satu Langkah Berani Mengubah Nokia dari Hampir Bangkrut jadi Pendapatan US$24 Miliar

Perbandingan dengan Langkah Internasional

Langkah FDA ini mengikuti jejak kebijakan yang lebih tegas di luar AS. Uni Eropa sudah melarang penggunaan Red Dye No. 3 pada tahun 1994, dengan kebijakan serupa diterapkan di negara-negara seperti Jepang, Cina, Inggris, Australia, dan Selandia Baru.

Negara-negara ini mengedepankan perlindungan kesehatan dengan membatasi bahan-bahan kimia berbahaya dalam produk yang dikonsumsi masyarakat, meskipun AS tertinggal dalam hal ini.

Para pengamat, termasuk Carl Tobias, seorang mantan konsultan hukum FDA, mengungkapkan bahwa lambannya respons FDA ini mungkin disebabkan oleh tekanan lobi industri makanan yang kuat, yang berusaha mempertahankan penggunaan pewarna ini.

Meski demikian, banyak pihak yang menyambut positif keputusan FDA sebagai langkah menuju perlindungan kesehatan yang lebih baik di masa depan.

Pengaruh Keputusan FDA terhadap Industri Makanan dan Obat

Dengan pengumuman terbaru ini, produsen yang menggunakan Red Dye No. 3 dalam produk mereka diharuskan untuk mengubah formula produk mereka paling lambat pada 15 Januari 2027 atau 18 Januari 2028, tergantung pada jenis produk yang terpengaruh.

Baca Juga: Lebih dari 100 Atlet Olimpiade Kembalikan Medali Setelah Mengajukan Keluhan Serius

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai tingkat bahaya bagi manusia, keputusan ini menunjukkan pentingnya evaluasi ulang bahan tambahan makanan yang telah digunakan selama beberapa dekade.

Beberapa kelompok advokasi, seperti Center for Science in the Public Interest (CSPI), menyambut baik keputusan ini dan menyatakan bahwa langkah ini dapat membuka jalan bagi pengaturan yang lebih ketat terhadap bahan kimia berbahaya lainnya yang masih digunakan dalam produk makanan dan obat.

Mereka menekankan bahwa bahan-bahan seperti pewarna sintetis tidak memberikan manfaat gizi atau nilai konservasi, melainkan hanya digunakan untuk tujuan estetika, yakni membuat produk terlihat lebih menarik.

Selanjutnya: Pendaftaran PPPK 2024 Tahap 2 Kembali Diperpanjang, Simak Cara Buat Akun SSCASN-nya

Menarik Dibaca: Afiliasi Lazada Jadi Pilihan Cerdas di 2025, Begini Kisah Sukses PamPam

Editor: Handoyo