KONTAN.CO.ID - Pemerintah Amerika Serikat (AS) meningkatkan tekanan terhadap industri drone asing, khususnya asal China. Federal Communications Commission (FCC) pada Senin (22/12/2025) menyatakan akan memasukkan DJI, Autel, serta seluruh produsen drone dan komponen buatan luar negeri ke dalam daftar perusahaan yang dinilai menimbulkan risiko terhadap keamanan nasional AS. Dengan masuknya perusahaan-perusahaan tersebut ke dalam Covered List FCC, DJI, Autel, dan produsen drone asing lainnya tidak lagi dapat memperoleh persetujuan FCC untuk menjual atau mengimpor model drone baru maupun komponen penting di AS.
Baca Juga: Yen Tertekan, Jepang Keluarkan Peringatan Intervensi Terkeras ke Pasar Valas Persetujuan FCC merupakan syarat wajib bagi pemasaran produk telekomunikasi dan perangkat nirkabel di AS. Langkah ini menjadi eskalasi signifikan dari upaya Washington membatasi penggunaan drone buatan China. Sebelumnya, pada September lalu, Departemen Perdagangan AS menyatakan tengah menyiapkan aturan untuk membatasi impor drone asal China. Meski demikian, FCC menegaskan kebijakan ini tidak melarang impor, penjualan, maupun penggunaan model drone yang telah mendapat izin sebelumnya. Konsumen dan institusi tetap diperbolehkan menggunakan drone yang telah dibeli secara legal sebelum kebijakan ini berlaku.
Baca Juga: Bonus Medali SEA Games 33 Dipangkas, Atlet Thailand Kecewa Berat DJI, produsen drone terbesar di dunia, menyatakan kekecewaannya atas keputusan FCC tersebut. Meski tidak disebut secara khusus sebagai target utama, DJI menilai tidak ada kejelasan informasi mengenai dasar penilaian pemerintah AS dalam mengambil keputusan tersebut. DJI sebelumnya memperingatkan bahwa masuknya perusahaan ke dalam Covered List pada praktiknya akan menghalangi peluncuran model drone baru di pasar AS. Saat ini, DJI menguasai lebih dari separuh pasar drone komersial di Amerika Serikat. FCC menjelaskan, keputusan ini didasarkan pada hasil kajian lintas lembaga pemerintah AS yang diprakarsai Gedung Putih. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa drone dan komponen impor berpotensi menimbulkan risiko keamanan, mulai dari pengawasan tanpa izin, pengambilan data sensitif, kerentanan rantai pasok, hingga ancaman lain terhadap keamanan dalam negeri.
Baca Juga: Trump Umumkan Proyek Kapal Perang Trump Class, Diklaim 100 Kali Lebih Kuat Namun, kajian itu juga membuka peluang bagi Pentagon untuk mengevaluasi ulang dan mencabut pembatasan terhadap jenis drone tertentu apabila dinilai tidak menimbulkan risiko keamanan. Pada Juni lalu, Presiden Donald Trump telah menandatangani perintah eksekutif untuk mengurangi ketergantungan AS terhadap produsen drone China. Pejabat Dewan Keamanan Nasional AS, Sebastian Gorka, menegaskan kebijakan ini bertujuan memastikan drone yang digunakan di masa depan diproduksi di dalam negeri. DJI sebelumnya mengungkapkan bahwa lebih dari 80% dari sekitar 1.800 lembaga penegak hukum serta layanan tanggap darurat negara bagian dan lokal di AS menggunakan teknologi DJI. Perusahaan menilai pembatasan ini dapat mengganggu operasional lembaga-lembaga tersebut, terutama menjelang ajang besar seperti Olimpiade dan Piala Dunia, yang rawan terhadap penyalahgunaan drone.
Baca Juga: Yen Melemah dan Berfluktuasi Selasa (23/12), Ancaman Intervensi Jepang Menguat Sejumlah politisi Partai Republik mendukung kebijakan FCC. Anggota DPR AS Rick Crawford menyebut penggunaan drone buatan China sebagai “mimpi buruk kontraintelijen” dan menegaskan keamanan nasional tidak boleh dikompromikan demi produk murah.
Sementara itu, produsen China lainnya, Hikvision, baru-baru ini menggugat FCC ke Pengadilan Banding AS di Washington menantang kewenangan FCC dalam memblokir persetujuan perangkat baru dan membatasi penggunaan perangkat yang sebelumnya telah disetujui. Pada September lalu, pengadilan AS juga menolak permohonan DJI untuk dikeluarkan dari daftar Departemen Pertahanan AS yang menuduh perusahaan tersebut memiliki keterkaitan dengan militer China.