AS tak bisa sebut Indonesia berlaku 'curang'



JAKARTA. Presiden AS Donald Trump berencana menerbitkan perintah eksekutif untuk mengumumkan negara-negara yang bertanggungjawab atas defisit neraca perdagangan AS yang nilainya mencapai hampir US$ 50 miliar.

Nama Indonesia ternyata masuk dalam 16 negara yang disebut Trump 'curang’. Selain Indonesia, ada pula China, Kanada, Prancis, Jerman, India, Irlandia, Italia, Jepang, Malaysia, Meksiko, Korea Selatan, Swiss, Taiwan, Thailand dan Vietnam.

Perintah ini muncul sepekan sebelum pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping. Banyak pihak yang menilai, hal ini merupakan peringatan dini atas Beijing.


Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menilai, untuk Indonesia sendiri seharusnya tidak masuk dalam negara-negara yang dianggap ‘curang’ oleh AS. Pasalnya, ada tiga kriteria suatu negara dianggap merugikan AS secara perdagangan.

Pertama, bahwa negara tersebut mempunya surplus lebih dari US$ 20 miliar terhadap AS.

“Indonesia tidak. Indonesia punya surplus hanya sekitar US$ 13 miliar,” kata Mirza saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (5/4).

Kedua, bahwa negara tersebut current account-nya atau ekspor impor barang dan jasanya surplus secara total.

“Indonesia kan current account-nya defisit 1,8 hingga 2% dari PDB jadi tidak termasuk,” lanjutnya.

Ketiga, adalah negara tersebut melakukan intervensi kurs satu arah secara terus menerus selama satu tahun yang besarnya sampai dengan 2% dari PDB. Dengan kata lain, intervensi itu membuat kursnya menjadi sengaja melemah, sehingga membuat ekspornya lebih murah untuk masuk ke AS.

“Nah, Indonesia ini kan bila sedang terjadi gejolak, Bank Indonesia masuk ke pasar untuk pengendalian pasar. Yang terjadi malah untuk mencegah rupiah menjadi terlalu lemah,” katanya.

Mirza mengatakan, yang disasar oleh Trump sendiri adalah negara-negara yang sengaja membuat lemah mata uang-nya. Sementara Indonesia selalu berusaha supaya mata uang pada saat ada gejolak tidak terlalu lemah agar tetap stabil.

Jadi dari tiga kriteria itu, Indonesia seharusnya tidak masuk dalam kategori negara ‘curang’. Namun demikian, pemerintah menurutnya harus terus cermati pergerakan dari AS.

“Dari executive order itu tiga bulan itu akan keluar report. Omnibus report. Akan keluar report dari pertahanan AS mengenai negara yang dianggap melakukan unfair subsidies. Yang paling berkepentingan Kemendag yang harus lakukan monitoring. BI juga monitoring karena terkait kurs,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie