AS tuding Jepang intervensi yen



SENDAI. Amerika Serikat (AS) merilis peringatan terbaru kepada Jepang. Kali ini, negeri Paman Sam menegur negeri matahari terbit lantaran dianggap melakukan intervensi di pasar mata uang.

Perdebatan intervensi mata uang antara AS dan Jepang menjadi agenda utama pertemuan para pemimpin negara maju G-7 pada Sabtu (21/5) lalu di Sendai, Jepang. Washington bersikukuh Tokyo tidak memiliki alasan apapun untuk sengaja melemahkan yen di pasar mata uang.

Menteri Keuangan AS Jack Lew mengatakan, saat ini pergerakan yen terhadap dollar AS masih dianggap normal. "Sangat penting bahwa G-7 memiliki perjanjian tidak hanya untuk menahan diri dari devaluasi kompetitif, namun untuk berkomunikasi sehingga kita tidak melakukan kebijakan mengejutkan satu sama lain," kata Lew, seperti dikutip Reuters, Ahad (22/5).


Tidak sepakat

Menanggapi tuduhan AS, Menteri Keuangan Jepang Taro Aso menyatakan, pergerakan yen dipicu aksi spekulatif pelaku pasar. "Pergerakan yen masih teratur dan tidak ada perdebatan panas antara Jepang dan AS," klaim Aso.

Namun, Aso menegaskan, penting bagi Jepang untuk memiliki kestabilan nilai tukar. Atas dasar itulah, Jepang akan tetap melakukan intervensi pasar jika diperlukan. Tapi, niatan Jepang tak hanya ditolak AS. Seluruh negara G-7 tidak sepakat dengan alasan Jepang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.

Semua anggota G-7 kompak menilai bahwa yang paling penting ialah menjaga kebijakan moneter sesuai kondisi ekonomi. "Pemerintah tak perlu campur tangan di pasar mata uang," kata Menteri Keuangan Prancis Michel Sapin.

Lew mendesak Jepang agar melonggarkan kebijakan fiskalnya. Langkah Jepang mengerek kenaikan pajak penjualan berpotensi merusak ekonomi jika tidak dibarengi stimulus fiskal tambahan.

Negara-negara G-7 juga menekankan pentingnya paduan kebijakan moneter, fiskal, dan struktural untuk mendongkrak daya belanja masyarakat. "Yang paling penting adalah reformasi struktural," imbuh Menteri Keuangan Jerman Wolfgang Schaeuble.

Pertemuan G-7 kali ini diharapkan bisa memulihkan hubungan di antara negara-negara penguasa ekonomi dunia tersebut. Isu ini muncul setelah G-7 dilanda isu perpecahan gara-gara persoalan mata uang dan kebijakan fiskal yang berbeda dalam kelompok negara tersebut.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie