JAKARTA. Rupiah terus merosot mendekati level Rp 14.700 per dollar Amerika Serikat (AS). Meski, akhirnya rupiah mencoba untuk bangkit pasca tergerus 2,21% dalam sepekan kemarin. Mengacu data Bloomberg, Senin (28/9) di pasar spot menguat tipis 0,12% ke level Rp 14.674 dibanding hari sebelumnya. Sedikit berbeda di kurs tengah Bank Indonesia rupiah masih melemah 0,04% ke level Rp 14.696. Dan tampaknya, rupiah masih akan diselimuti tekanan di sisa tahun 2015. Faktor fundamental, gencetan dari internal dan eksternal masih akan menghadang mata uang Garuda.
Tengok saja, kenaikan suku bunga bank sentra AS (Fed Funds Rate) dari posisi sekarang 0,25% menjadi 0,5%, nyatanya tidak pernah terjadi. Dalam pertemuan Federal Open Market Committee Meeting (FOMC Meeting) yang berlangsung 16-17 September lalu. Lagi-lagi rencana The Fed untuk menaikkan suku bunga yang sudah dicanangkan sejak tahun lalu kembali batal. Gubernur The Fed Janet Yellen beralasan angka inflasi AS belum bergerak sesuai target. Meski demikian, tidak menutup The Fed untuk mengambil langkah menaikkan suku bunga tahun ini. Senin (29/9), Gubernur The Fed New York William C Dudley menegaskan kebijakan menaikkan suku tetap diputuskan tahun ini, meski di tengah ketidakpastian atas pertumbuhan ekonomi global. "Saya pikir ekonomi sedang berada dalam kondisi yang baik," katanya dikutip dari
Bloomberg. Pernyataan pejabat The Fed yang menegaskan akan menaikkan suku bunga tanpa menyebutkan kapan waktunya, kian memicu ketidakpastian pasar. Di sisa tahun ini, The Fed bakal kembali menggelar dua kali pertemuan. Pada tanggal 27-28 Oktober dan 15-16 Desember mendatang. Nah, pertanyaannya apakah The Fed akan memutuskan menaikkan suku bunga di dua pertemuan itu?. Mungkin, cuma Yellen dan para pejabat The Fed yang tahu. Selain spekulasi suku bunga The Fed, lesunya perekonomian China ikut membebani rupiah. Perekonomian terbesar kedua di dunia itu belum juga menunjukkan perbaikan, justru sebaliknya. Menurut Biro Statistik (NBS), laba industri China anjlok 8,8% pada Agustus dari tahu lalu akibat kenaikan biaya dan penurunan harga. Selama delapan bulan pertama tahun ini, laba turun 1,9% dari periode sama tahun lalu. Secara total, laba selama Agustus turun 156,6 miliar dari tahun lalu. "Jika data China negatif, itu artinya kepercayaan pelaku pasar pada aset di Asia kian tipis," kata Trian Fathria, Research and Analyst Divisi Treasury PT Bank BNI Tbk. Ini jelas tidak menguntungkan posisi rupiah sebagai salah satu aset berisiko di kawasan Asia. Di sisi lain, belum banyak sentimen internal yang mampu menopang rupiah. Komisi Keuangan DPR RI memangkas asumsi makro laju pertumbuhan 2016 menjadi 5,3% dari 5,5%. Ini menyiratkan kondisi perekonomian belum lepas dari tekanan. Rupiah di level Rp 15.000 Mau tidak mau, performa rupiah terburuk setelah ringgit Malaysia. Terlebih, ekonom Nanyang Business School Singapore, Lee Boon Keng melansir pernyataan kontroversi yakni rupiah berpotensi ambruk ke level Rp 25.000 per dollar AS. "Jangan berpikir bahwa segalanya baik-baik saja. Kurs rupiah sekarang sudah lewat 13.000 per dolar. Dari angka itu ke 25.000 tidaklah jauh," kata Boon Keng di sela-sela seminar bertajuk "Indonesia Financial and Economic Conference", sebagaimana dikutip sejumlah media. Buru-buru, Andri Hardianto, Research and Analyst PT Fortis Asia Futures menampik prediksi Boon Keng, meski tekanan rupiah melemah masih terbuka lebar. "Tidak akan setajam itu, level Rp 14.500 - Rp 15.000 akan jadi level pelemahan rupiah di tahun 2015 ini tapi tidak lebih dari itu," papar Andri. Pergerakan rupiah dalam kurun enam bulan
Sumber: Bloomberg kurs rupiah di pasar spot Jumat (28/9) Rupiah saat ini sedang mencari keseimbangan barunya setelah tergencet tekanan dari global dan internal secara bersamaan. Namun ke depannya dengan harapan adanya genjotan ekonomi dari dalam negeri rupiah akan mampu menahan serangan global. Bisa saja ini menjadi upaya pasar untuk mendevaluasi rupiah memanfaatkan pelemahan yang ada. "Indonesia bisa diarahkan untuk menjadi negara eksportir bahan industri dan komoditas setengah jadi sehingga semakin rendah rupiah pelaku pasar global akan semakin tertarik mengekspor produk dari Indonesia," duga Andri. Hanya saja, Andri menilai masih banyak faktor yang akan mampu menjaga nilai tukar rupiah hingga akhir tahun 2015. "Intervensi Bank Indonesia dan rupiah tidak akan berhenti begitu saja jika rupiah terus melemah," papar Andri. Berbagai upaya sudah disiapkan salah satunya rentetan paket kebijakan ekonomi, yang harapannya di masa mendatang bisa ikut menggenjot ekonomi dan mendongkrak rupiah. Asa dari paket Jilid II Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Darmin Nasution menyebutkan paket kebijakan ekonomi tahap II akan diumumkan pada Selasa (29/9). Sekretaris Kabinet Pramono Anung menambahkan Presiden Joko Widodo akan mengumumkan sesuatu yang "nendang" bagi dunia. Intinya, kata Pramono, ada dua hal yang menjadi prinsip dalam paket lanjutan yang akan diluncurkan pemerintah yakni membuat Indonesia semakin kompetitif bagi investasi dan membuka ruang bagi semakin terbukanya lapangan kerja. Untuk paket kebijakan ekonomi jilid I, dari total 134 peraturan yang akan dideregulasi, sebanyak 16 peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden sudah selesai dibahas. Ke-134 peraturan yang dirombak itu terdiri atas 17 PP, 11 Perpres, 2 Inpres, 96 Permen, dan 8 aturan lain. Sebanyak 16 PP dan Perpres itu tinggal menunggu kelengkapan paraf menteri terkait dan persetujuan presiden untuk ditetapkan. Untuk tingkat kementerian dan lembaga, sebanyak 38 peraturan juga telah selesai dibahas dan akan disederhanakan menjadi 24 peraturan. Khusus di level ini, aspek deregulasi tidak hanya berupa penyempurnaan maupun penyederhanaan peraturan awal, namun juga penggabungan. Bank Indonesia (BI) juga sipa meluncurkan paket kebijakan lanjutan untuk memperkuat cadangan devisa. Pertama, insentif potongan pajak bunga untuk eksportir yang menempatkan devisa hasil ekspor di bank domestik. Kedua, penaikan threshold (batas) penjualan valas terhadap rupiah oleh nasabah ke bank melalui transaksi forward atau option, dari sebelumnya US$ 1 juta menjadi US$ 5 juta. Sebelumnya, cadangan devisa melorot US$ 2,3 miliar dalam tiga pekan pertama bulan ini, menjadi US$ 103 miliar. Sejumlah langkah ini diharapkan mampu menahan penurunan rupiah semakin dalam. Jangan sampai rupiah sentuh Rp 15.000 per dollar AS.
Pasalnya, beban rakyat akan semakin berat. Bahan kebutuhan pokok bakal melambung tinggi. Belum lagi, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin menghantui. Sudah 43,085 orang kehilangan pekerjaannya sejak awal tahun ini. Beban ekonomi yang berat memaksa sejumlah perusahaan khususnya di sektor garmen, sepatu, elektronik dan pertambangan batubara efisiensi. Tidak mudah untuk mengembalikan keperkasaan rupiah, ibarat mengembalikan telapak tangan. Setidaknya langkah konkrit yang kini tengah ditunggu meski butuh waktu memetik hasilnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto