Hasil kesepakatan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), alokasi Transfer ke Daerah (TkD) dan Dana Desa (DD) 2019 mencapai Rp 826,8 triliun atau naik ketimbang prediksi di 2018 sebesar Rp 763,6 triliun. Pemerintah menganggap bahwa kenaikan ini merupakan komitmen nyata menjalankan desentralisasi seutuhnya, meski beberapa pihak justru memandang negatif. Guyuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin besar. Hanya saja, banyak pihak menilai hal ini semakin menumbuhkan sikap ketergantungan pemerintah daerah (pemda) terhadap bantuan pemerintah. Kendati begitu, harus diakui bahwa desentralisasi fiskal telah menciptakan banyak hal-hal positif. Salah satu contoh nyatanya adalah banyaknya kepala daerah berprestasi, baik di level nasional hingga internasional. Platform prestasinya pun secara serempak berkaitan dengan inovasi pelayanan publik di berbagai sektor. Artinya, kekhawatiran munculnya ketergantungan daerah terhadap APBN dapat direduksi dengan kebangkitan inovasi pelayanan publik. Meskipun, notifikasi tersebut wajib menjadi perhatian utama dalam kerangka perbaikan ke depannya.
Secara teori, masalah kemandirian daerah selalu tercermin dalam komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD ini terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah serta PAD lain-lain yang sah. Sebaliknya, indikator ketergantungan APBD terhadap bantuan pusat, selalu dilihat dari komponen Dana Perimbangan baik melalui komponen Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Bagi Hasil (DBH). Catatan yang dikemukakan menjadi sah jika merujuk banyak penelitian yang menyebutkan kontribusi PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seluruh daerah di Indonesia tak lebih besar dari persentase sebesar 20%-25%. Rasio tersebut berarti ketergantungan daerah terhadap dana APBN masih menyentuh angka rata-rata 75%-80%. Beberapa daerah terutama di daerah hasil pemekaran, rasio ini bahkan dapat menyentuh kisaran 90%-95%, yang artinya seluruh sendi kehidupan di daerah sangat bergantung kepada bantuan APBN. Untuk itu, tak henti-hentinya pemerintah pusat selalu memperbaiki segala aspek kebijakan yang terasa tak selaras dengan semangat awal untuk mewujudkan aspek kemandirian daerah. Merujuk kepada sejarah awal komitmen menjalankan desentralisasi fiskal, kemandirian daerah inilah sejujurnya yang melatarbelakangi pelaksanaan otonomi daerah. Sayangnya, pemerintah sepakat mengimplementasikan otonomi daerah dari sisi belanja bukan pendapatan. Akibatnya, perbaikan dari sisi peningkatan kualitas belanja APBD, hingga kini terus saja mendominasi pembahasan. Bagaimana daerah menjadi semakin bertanggung jawab untuk mengalokasikan APBD di sektor pelayanan publik, menjadi Pekerjaan Rumah (PR) abadi yang tak jera untuk terus digelorakan. Pada aspek lain, pemerintah juga senantiasa memperbaiki teknis dari penganggaran daerah itu sendiri. Termasuk upaya pemerintah untuk memanfaatkan teknologi dan informasi demi upaya optimalisasi penerimaan APBD. Standardisasi PAD Dalam perjalanannya, pemerintah pusat merasa bahwa kebijakan menjaga kualitas belanja daerah ternyata tidak dapat mengabaikan kebijakan dari sisi pendapatan. Untuk itu, sebagai bentuk afirmasi pemerintah juga mulai banyak memberikan perbaikan dari upaya meningkatkan aspek pendapatan daerah. Upaya nyata pemerintah memperbaiki aspek pendapatan di APBD dilakukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 207/PMK.07/2018 dan PMK Nomor 208/PMK.07/2018. Lewat kedua beleid inilah, asa memompa kapasitas PAD disuarakan. PMK Nomor 207/PMK.07/2018 mengatur tentang Pedoman Penagihan dan Pemeriksaan Pajak Daerah, sedangkan PMK Nomor 208/PMK.07/2018 menjelaskan mengenai Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Melalui penerbitan PMK Nomor 207/PMK.07/2018, nantinya diharapkan masing-masing pemerintah daerah memiliki dasar hukum yang kuat di dalam melakukan penagihan, dan pemeriksaan pajak secara tepat dan prosedural. Dengan beleid ini Pemerintah Daerah diharapkan sekaligus menekan angka kehilangan potensi pajak yang sangat memberatkan. Di dalam ketentuan umum, penagihan didefinisikan sebagai serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Sementara pemeriksaan pajak menjelaskan tentang kegiatan menghimpun serta mengolah data, keterangan dan atau bukti berdasarkan suatu standar untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau untuk tujuan lain. Implementasi penagihan pajak via PMK memungkinkan kepala daerah menunjuk pejabat pelaksana penagihan pajak atau juru sita pajak untuk menjalankan mekanisme yang dimaksud. Dengan demikian, regulasi tersebut tampak menjadi semacam reformasi struktur penagihan dan pemeriksanaan pajak. Untuk reformasi basis pajaknya sendiri, harapan tersebut bergantung pada PMK Nomor 208/PMK.07/2018, ketika masing-masing daerah nantinya mampu menghitung nilai jual objek pajak (NJOP) secara lebih relevan dan sesuai harga pasar. Pada gilirannya cara ini akan memperbaiki level pengenaan pajak di daerah. Dengan demikian, penetapan target pajak daerah dalam APBD ke depan harus betul-betul mendasarkan kepada perhitungan NJOP, bukan lagi kepada perhitungan angka yang munculnya tiba-tiba tanpa berdasarkan sebuah hitungan akademis. Regulasi ini juga dapat menjadi pembanding akademik terkait kinerja dari aparat pemungut pajak di daerah. Apakah mereka sudah bekerja sesuai dengan prosedur yang ditetapkan atau bekerja ala kadarnya saja. Ketika semua perbaikan tersebut berlaku dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan berketetapan hati, penulis yakin ke depannya tujuan menciptakan kemandirian di APBD bukan lagi sebuah fatamorgana yang utopis, melainkan solusi praktis dan implementatif.
Opini soal desentralisasi yang hanya menciptakan ketergantungan daerah terhadap APBN juga perlahan namun pasti dapat ditepis. Ketika serangkaian cerita indah tentang pelaksanaan desentralisasi fiskal Indonesia dapat dirajut, semua pihak wajib berkontribusi secara positif. Jika tidak, harapan tersebut hanya akan menjadi bunga tidur di siang hari. Pasalnya, tidak ada negara yang berhasil jika pemerintahnya bekerja sendirian tanpa mendapat dukungan dari seluruh elemen bangsa lainnya.♦
Joko Tri Haryanto Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi