ASEAN: Makin terbuka, kian berisiko dikendalikan kepentingan negara besar



NUSA DUA. Rangkaian pertemuan ASEAN dalam sepekan ke depan menentukan bagaimana sebenarnya pengaruh ASEAN di dunia. Pada perhelatan besar di Bali kali ini, ASEAN akan berdiskusi dan bernegosiasi dengan mitra dialognya yang semakin banyak. Para mitra ini, khususnya negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang dan China, tentu sudah punya agenda tersendiri di ASEAN. Jika ASEAN tak pintar-pintar menghadapinya, agenda ASEAN justru bisa terbawa atau malah tenggelam di antara agenda negara-negara besar tersebut.

Saat ini, selain kerja sama di antara ke-10 negara anggotanya, ASEAN juga memiliki beberapa bentuk kerja sama. Pertama, ASEAN Plus Three (APT) yang terdiri dari ASEAN, Jepang, Korea Selatan, dan China. APT terbentuk sejak krisis moneter Asia di tahun 1998 dulu.

Hasil kerja sama APT yang sudah terlihat adalah skema penyediaan dana cadangan bersama bernama Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM). APT juga terlibat dalam proyek besar ASEAN Connectivity seperti menyediakan dana investasi pada ASEAN Infrastructure Fund.


Ada pula East Asia Summit, forum dialog untuk membahas permasalahan-permasalahan penting di kawasan Asia Timur. Anggotanya adalah ASEAN dan 6 negara tetangga yang berperekonomian lebih maju yaitu China, India, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Belakangan, East Asia Summit juga mengikutsertakan Amerika Serikat dan Rusia.

Kemudian ASEAN juga punya kerjasama di regional di bidang keamanan yang bertajuk ASEAN Regional Forum (ARF). ARF dimulai sejak tahun 1997 dan beranggotakan negara-negara ASEAN ditambah 17 negara di luar ASEAN. Mereka adalah 10 negara Mitra Wicara ASEAN yaitu Amerika Serikat, Kanada, China, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Uni Eropa, serta beberapa negara di kawasan yaitu Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara, Pakistan, Timor-Leste, Bangladesh dan Sri Lanka. Dengan kata lain, jumlah negara non-ASEAN kini sudah lebih besar daripada jumlah anggota ASEAN sendiri.

Menurut Dinna Wishnu, Ahli Hubungan internasional dari Universitas Paramadina, ASEAN yang semakin terbuka memiliki peluang dan risiko. Peluangnya tentu saja kerja sama khususnya di bidang ekonomi akan semakin terbuka. Tapi risikonya, posisi kepentingan ASEAN bisa-bisa tergeser. Maklum, negara-negara besar itu pasti akan membawa problem-problem pribadinya terutama di saat krisis saat ini. "Amerika, China, Jepang, dan India akan berfokus bagaimana bisa menjalankan pertumbuhan ekonomi mereka dengan memanfaatkan ASEAN," kata Dinna, Senin (15/11).

Maka, kalau ASEAn tak hati-hati, perhatian ke masalah-masalah ASEAN bisa berkurang. "Jangan sampai negara-negara non ASEAN menjadi kuda liar yang menarik ASEAN ke berbagai arah. ASEAN harus mampu mengendalikannya agar ritme negara-negara lain sesuai dengan ASEAN, tegasnya."

Masalah yang dihadapi ASEAN sampai sekarang yaitu soal tidak meratanya tingkat ekonomi antara anggota ASEAN. Tingkat kesenjangan ekonomi di antara anggota ASEAN bak jungkat-jungkit yang tidak seimbang. Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei dan Indonesia memiliki ekonomi yang cukup maju. Di sisi lainnya, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam masih tertinggal.

Contoh lain adalah di bidang investasi. Saat ini, investasi yang masuk ke ASEAN tidak merata. India lebih banyak berinvestasi di Vietnam, Korea Selatan di Singapura dan Malaysia, sementara China di kawasan Indochina yaitu Kamboja, Laos, dan Vietnam.

Namun, risiko yang selama ini belum banyak diungkapkan adalah dampak kerja sama ASEAN yang lebih luas terhadap orang alias tenaga kerja. Sebab, tak hanya produk barang yang masuk dari negara-negara di luar ASEAN tapi juga tenaga kerja asing. "Yang paling rentan adalah Indonesia karena negara kita yang paling besar. Kompetensi SDM kita juga belum siap bersaing bahkan di tingkat ASEAN. Selama ini yang terus dibicarakan adalah sisi free flow, tapi proteksi tidak," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: