KONTAN.CO.ID - JAKARTA Kalau berbicara perkembangan pasar finansial saat ini, tentu saja akan berbeda sekali dibandingkan prediksi yang dibuat akhir tahun lalu. Semua prediksi yang dibuat sebelum wabah Covid-19 datang menerpa memang sudah tidak bisa dijadikan pegangan lagi. Wabah Covid 19 ini memang akan memukul perekonomian di seluruh dunia, sehingga proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pun jadi negatif. Menurut Roy Sembel Profesor Finance and Investment di IPMI International Business School, semua tekanan ekonomi global ini langsung mempengaruhi perekonomian Indonesia, karena Indonesia negara besar dengan penduduk ke-4 terbesar di dunia. Perekonomian di Indonesia selama ini memang terkenal banyak menggantungkan pada ekonomi domestik. Tapi waktu Wabah Corona ini datang melanda terjadi kondisi tidak normal. Perekonomian di dalam negeri pun setengah lumpuh karena orang-orang harus tinggal di rumah untuk memutus mata rantai penularan Virus Covid 19.
Tak heran dalam Prediksi terbarunya The Economists memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun dari 5%-an menjadi 1%. Lumayan drastis, tapi jauh lebih lumayan daripada negara-negara lain yang mayoritas perekonomiannya diprediksikan tumbuh negatif, termasuk perekonomian di Amerika Serikat. “Beberapa lembaga riset dunia sudah mengeluarkan prediksi ekonomi Indonesia akan 1% tahun ini. Saya kira angka ini cukup masuk akal,” tambah Roy Sembel. Prediksi pertumbuhan ekonomi yang melorot tajam dan berbagai dampak wabah ini membuat nilai Rupiah pun ikutan melorot. Dari kisaran Rp 13.700-an di 20 Februari melompat menjadi 14.300 di 28 Februari. Memasuki Maret terus melemah bahkan melompat mencapai Rp 16.575 di 23 Maret, sebelum akhirnya sempat menguat ke 16.300-an dan sekarang bergerak di kisaran Rp 16.300. Dalam video conference-nya Menteri Keuangan RI Sri Mulyani bahkan sempat mengungkapkan kemungkinan terjadi pelemahan Rupiah terhadap USD lebih dalam. Kalau terjadi skenario berat Rupiah bisa menjadi Rp 17.500, bahkan bisa menjadi Rp 20.000 kalau terjadi skenario sangat berat. “Tentu kita tidak mau terjadi skenario terburuk. Tapi skenario terburuk ini dibutuhkan untuk membuat kita bisa berjaga-jaga,” terang Roy Sembel. Dalam membuat prediksi, memang biasa dibuat berbagai skenario: skenario terbaik, biasa, dan skenario terburuk. “Kondisi sekarang ini saya rasa seperti tahun 2008.Waktu itu kita menerbitkan global bond dalam denominasi dolar dengan kupon bunga belasan persen. Padahal biasanya bunga dalam dolar kan cuma 1%-an,” tambah Roy. Waktu itu pemerintah RI menerbitkan surat utang dolar dengan bunga tinggi, supaya ada investor mau membeli. Penjualan global bond ini memang jadi salah satu cara utama negara untuk mendapatkan tambahan suplai dolar. Tapi pada saat itu ada banyak negara di dunia yang butuh dana di saat yang bersamaan. Akhirnya, negara-negara itu pun berlomba-lomba mendapatkan aliran dolar masuk ke negaranya. Apalagi pemanisnya kalau bukan suku bunga tinggi. Dalam kondisi perekonomian normal, dolar hasil ekspor bisa menjadi alternatif sebuah negara mendapatkan suplai dolar Amerika. Tapi sulit membayangkan terjadi transaksi ekspor di tengah kondisi perekonomian yang buruk seperti sekarang dan karantina di beberapa negara terkena wabah Covid-19. Jadi dengan proyeksi rupiah seperti sekarang ini, menurut Roy Sembel perusahaan-perusahaan harus bisa berhemat. “Ekspor sedang sepi. Satu-satunya cara untuk perusahaan-perusahaan ini adalah menghemat cash flow,” terangnya. Aset Alokasi yang Terbaik Ada banyak investor yang kaget melihat pasar modal yang meluncur dalam beberapa minggu terakhir. IHSG pun melorot dari 6.300-an di awal tahun ini, terus turun ke 4.000-an bahkan sempat menyentuh angka 3.900 (24/3). “Kelihatannya IHSG sekarang ini sudah menemukan titik keseimbangannya yang baru di 4.500-4.600,” tutur Roy Sembel. Walau memang kondisi saat ini masih menyisakan kekhawatiran besar di pasar untuk risiko Wabah Corona yang belum selesai. Pasalnya sampai saat ini, tes cepat untuk mendeteksi orang-orang tertular Covid-19 masih berlangsung sangat lambat. Tapi kondisi sekarang ini sudah membuat beberapa harga saham turun cukup dalam. Beberapa harga saham bahkan sudah kembali ke harganya di 3-5 tahun lalu. Tentu saja para investor yang mau memilih saham untuk koleksi portofolio harus jeli memilih saham-saham pilihannya. Salah satu yang cukup menarik adalah saham di perusahaan-perusahaan yang gencar melakukan buyback. Tapi tidak semua saham yang melakukan buyback akan bagus. Menurut Roy Sembel, Aswath Damodaran bapaknya valuasi dalam dunia finansial memperingatkan buyback ini bisa berpengaruh buruk pada perusahaan. Terutama untuk perusahaan-perusahaan yang mempunyai banyak utang. Pada saat utangnya jatuh tempo, cash flow-nya bisa terganggu karena uangnya habis untuk melakukan buyback. “Jadi pilihlah perusahaan yang melakukan buyback dan tidak mempunyai banyak utang,”saran Roy Sembel.
Selain saham, para investor juga bisa mengoleksi surat-surat utang. Beberapa bank sentral saat ini masih dalam kebijakan pelonggaran uang, sehingga ada kemungkinan masih akan ada penurunan suku bunga yang tentunya akan sangat menguntungkan untuk pemegang surat utang. Tetapi bersiaplah untuk mulai melepasnya di semester 2 nanti. Sementara itu, investor juga bisa mengoleksi logam mulia untuk diversifikasi. Tapi menurut Roy Sembel kita cukup mengoleksi 2,5% saja dari total portofolio. Pasalnya harga emas tidak terlalu menguntungkan untuk investasi. Harga emas dunia tahun ini memang naik dari US$ 1.200-an ke US$ 1.600-an per troy ounce. “Tapi harga emas ini dulu pernah ada di US$ 1.800-an di tahun 2011,” terang Roy Sembel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Djumyati P.