KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) diproyeksi kembali melemah di pekan ini,. Hal tersebut membuat aset mata uang non-dolar AS kian menarik. Sebagai gambaran, di pekan lalu, dolar AS melemah terhadap rupiah, mengingat nilai tukar Garuda ditutup menguat 1,56% ke Rp 15.495 pada Jumat (11/11).
Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin mengatakan, pelemahan dolar AS membuat minat pelaku pasar terhadap aset-aset berisiko kembali meningkat. Hal itu terlihat dari penguatan sejumlah mata uang, seperti euro (EUR), poundsterling (GBP), dan yen Jepang (JPY). Di sisi lain, kenaikan harga komoditas seperti emas dan minyak mentah juga terjadi.
Pada Jumat (11/11), nilai tukar EUR-USD menguat 1,35% ke 1,0347, GBP-USD naik 0,97% ke 1,1830, dan JPY-USD terkerek 1,56% ke 0,0072. Di sisi lain, harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman Januari 2023 di ICE Futures ditutup naik 2,48% ke US$ 95,99 per barel dan harga emas spot terkerek 0,9% menjadi US$ 1.771,24 per ons troi pada Jumat (11/11).
Baca Juga: Rupiah Diproyeksi Menguat di Awal Pekan Ini (14/11), Simak Sentimennya Untuk pekan depan, Nanang memprediksi kurs dolar AS masih akan lanjut melemah. Di mana, rupiah menguji level Rp 15.400, lalu ke kisaran Rp 15.390-Rp 15.300 per dolar AS. Jika jebol, maka rupiah berpotensi melaju ke level Rp 15.100 per dolar AS. Menurut Nanang, potensi pelemahan kurs dolar AS didorong oleh ancaman resesi yang berkurang seiring dengan menyusutnya inflasi AS. Itu terjadi seiring penurunan tingkat inflasi AS yang membuat pasar berekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunganya. The Fed pun diproyeksi mengerek suku bunga hanya 50 basis points (bps). Padahal sebelumnya, The Fed diprediksi masih akan mengerek suku bunga 75 bps. Euforia inflasi AS yang lebih rendah masih akan menghiasi pergerakan kurs dolar AS ke depannya. Sebagaimana diketahui, inflasi AS pada Oktober 2022 sebesar 7,7% secara
year on year (YoY), berkurang dari bulan sebelumnya yang berada di 8,2% yoy.
Baca Juga: Rupiah Menguat 1,56% Dalam Sepekan, Simak Prediksinya untuk Pekan Depan Pelaku pasar juga akan menanti rilis data penjualan retail AS serta menunggu penyelenggaraan FOMC Minutes bulan November 2022 untuk melihat gambaran arah kebijakan moneter The Fed ke depannya. "The Fed akan meninjau kembali rencana kenaikan suku bunga 75 bps dengan menyesuaikan data ketenagakerjaan dan inflasi terbaru. Kalau The Fed masih akan tetap menaikkan suku bunga 75 bps, maka kurs dolar AS akan kembali menguat," tutur Nanang saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (13/11). Seiring dengan masih tingginya ketidakpastian, Nanang menyarankan pelaku pasar yang tertarik pada mata uang non-dolar untuk berinvestasi dalam jangka pendek terlebih dahulu. Kurs EUR-USD diprediksi dapat lanjut menguat ke level 1,0500-1,0600, lalu GBP-USD menguat ke 1,2000, dan JPY-USD menguat ke 0,0098 per dollar AS. Analis DCFX Futures Lukman Leong menambahkan, dolar AS masih akan susah
rebound seiring dengan sentimen pasar yang kurang mendukung
the greenback. Oleh sebab itu, kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk berinvestasi di aset mata uang non-dolar AS. "Strategi investasi adalah dengan menghindari dolar AS paling tidak saat ini, namun tetap mesti selektif pada tujuan investasi mata uang lainnya," ucap Lukman. Menurutnya, dolar Australia (AUD) dan yen menarik untuk dilirik. Penguatan kurs dolar Australia akan didorong oleh sentimen Australia yang mencatatkan rekor surplus perdagangan.
Baca Juga: Rupiah Menguat 1,5% Sepekan, Dolar AS Melemah Setelah Inflasi Mereda Sementara untuk yen, meski cenderung spekulatif, namun nilai tukar mata uang ini diprediksi akan terdorong oleh pemerintah Jepang yang berencana menyesuaikan kebijakan kontrol imbal hasil yang selama ini menekan nilai yen Jepang.
Mata uang tetangga, yakni dolar Singaoura (SGD) juga diperkirakan akan menguat besar, mengingat SGD merupakan
safe haven alternatif. "Singapura memiliki peringkat kredit triple-A, surplus transaksi berjalan yang signifikan, dan cadangan mata uang asing yang sangat besar," tutur Lukman. Di sisi lain, Lukman tidak terlalu melihat prospek cerah pada EUR dan GBP. Menurutnya, banyak kelemahan pada keduanya untuk mengalami
rebound signifikan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari