KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selain memberi putusan hukuman pada ketiga bos PT First Anugerah Karya Wisata alias First Travel, Pengadilan Negeri Depok dalam sidang putusan, Rabu (30/5) juga memutuskan bahwa aset-aset yang disita oleh Kejaksaan ditetapkan untuk dirampas oleh negara. Dari penelusuran KONTAN, alasannya soal adanya kesulitan menentukan siapa yang berhak menerima aset tersebut. Asal tahu, dalam tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum aset-aset tersebut sejatinya akan dikelola oleh kepengurusan yang dibentuk oleh jemaah. "Majelis hakim memutuskan agar aset-aset yang berjumlah sekitar 500 item dirampas negara," kata Jaksa Penuntut Umum Tiazara Lenggogeni saat dihubungi KONTAN.
Perampasan aset sendiri berasal dari sekitar 820 barang bukti yang dikumpulkan penyidik. Sementara yang dirampas ada sekitar 529 barang bukti. Selain, sulitnya menentukan siapa yang berhak, Tiazara menjelang keputusan hakim tersebut akibat dari dikirimnya surat oleh Pengurus Pengelolaan Aset Korban First Travel yang menolak penyerahan aset tersebut karena nilainya tak sebanding dengan kerugian jemaah yang gagal berangkat umrah. "Setelah tuntutan pihak pengelola pengurus aset First Travel memasukkan surat ke PN Depok menyatakan bahwa mereka menolak untuk diserahkan aset karena nilainya tak sebanding," sambungnya. Sementara dari salinan surat tertanggal 28 Mei 2018 tersebut yang didapatkan KONTAN, Ketua PPAKFT Suwindra menyatakan bahwa mulanya penolakan didasari lantaran ada beberapa aset yang dinilai PPAKFT tak dimasukkan dalam penuntutan sehingga, nilainya berkurang. Beberapa aset tersebut misalnya dua rumah yang masing-masing berada di Sentul, Bogor, dan Kelapa Dua, Depok. Satu unit apartemen di Fatmawati, Jakarta Selatan. Satu kantor di Cimanggis Depok. Dan delapan unit mobil. "Hal ini yang menjadi dasar keberatan kami sebagai penerima aset, karena nilainya kemudian menjadi sangat kecil, dalam perhitungan kami hanya sekitar Rp 25 miliar. Sementara dalam fakta persidangan sempat disebutkan angka Rp 200 miliar," tulis Suwindra dalam surat keberatannya. Lebih lanjut, PPAKFT juga meminta eksekutor agar menelusuri aset-aset yang dimiliki tiga bos First Travel ini, hingga ke ibu kandung Annisa yang dikabarkan wafat. Sementara menanggapi hal ini kuasa hukum terdakwa First Travel Wawan Ardianto menyatakan hal tersebut sebenarnya di luar konteks. "Keluarga terdakwa diluar konteks kasus. Tapi itu memang hak korban juga menyampaikan kepada majelis. Tapi prinsipnya harapan saya semua aset yang disita, ditemukan, dan terungkap selama persidangan bisa digunakan untuk mengembalikan terhadap korban atau jemaah. Berapa pun nilainya," katanya saat dihubungi KONTAN. Sementara Tiazara menyatakan atas putusan tersebut, pihak Kejaksaan akan melakukan lelang atas rampasan aset-aset tersebut, dan hasilnya akan masuk ke kas negara. Sebelumnya, Andhika Hasibuan juga telah divonis mendekam 20 tahun penjara, dan diwajibkan membayar denda senilai Rp 10 miliar subsider 8 bulan penjara. Sementara istrinya, Annisa Hasibuan divonis 18 tahun penjara, juga ditambah denda senilai Rp 10 miliar, dan subsider 8 bulan penjara. Sedangkan Siti Nuraidah Hasibuan alias Kiki dapat vonis paling rendah, yaitu 15 tahun penjara, ditambah denda Rp 5 miliar subsider 8 bulan penjara.
Sementara di pengadilan terpisah, pada hari yang sama, Rabu (30/5) perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) First Travel juga resmi diputuskan berdamai alias homologasi oleh Majelis Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Menanggapi homologasi dan perampasan aset di perkara pidana tiga bos First Travel Ketua Paguyuban Korban First Travel Indonesia Nadir menyatakan, bahwa restrukturisasi utang yang dilakukan oleh First Travel akan makin sulit. "Sebenarnya seperti simalakama, damai kondisinya seperti ini, pailit kita lebih jelas tak dapat apa-apa. Tapi sebenarnya, kalau mau aset-aset yang disita bisa langsung digunakan u tuk memberangkatkan jemaah, kan sistemnya first in first out, itu cukup," jelasnya kepada Kontan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto