Aset Kripto Lebih Berisiko, BI Lebih Pilih Mata Uang Digital



KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Bank sentral lebih mengandalkan mata uang digital Central Bank Digital Currency (CBDC) untuk menghindari sejumlah risiko dari aset kripto. 

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Doni Joewono menuturkan, digitalisasi telah mengubah cara manusia dalam melakukan aktivitas di berbagai aspek kehidupan, termasuk aktivitas keuangan. Digitalisasi dan pandemi Covid-19 membuat aset kripto tumbuh semakin cepat.

Menurutnya, aset kripto memiliki potensi untuk mengembangkan inklusi dan efisiensi sistem keuangan, namun di sisi lain juga berpotensi menimbulkan sumber risiko baru yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan.


Baca Juga: Bank Indonesia Bakal Luncurkan Kajian Mata Uang Digital di Akhir Tahun 2022

“Aset kripto memiliki potensi untuk mengembangkan inklusi dan efisiensi sistem keuangan, namun di sisi lain juga berpotensi menimbulkan sumber risiko baru,” tutur Doni dalam Side Event G20: Advancing Digital Economy and Finance: Synergistic and Inclusive Ecosystem for Accelerated Recovery-Digital Currency di Nusa Dua, Bali, Selasa (12/7).

Guna mengatasi risiko terhadap stabilitas dari aset kripto tersebut, dibutuhkan kerangka regulasi untuk mengatasinya. Selain itu, keberadaan aset kripto juga melatarbelakangi bank sentral dalam menjajaki desain dan penerbitan CBDC atau mata uang digital yang diterbitkan oleh bank sentral.

Doni menyadari, aset kripto memang bisa memberikan keuntungan. Misalnya saja dari perspektif keuangan makro, aset kripto dapat digunakan untuk pencucian uang, penghindaran pajak, dan mengganggu stabilitas keuangan. Akan tetapi, karena memiliki risiko yang tinggi, alat pembayaran tersebut tidak diakui di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi