Asian Agri yakin pengadilan akan beri putusan adil



JAKARTA. Asian Agri Group percaya Pengadilan Pajak akan memberikan putusan yang seadil-adilnya, terkait perkara banding sengketa pajak terutang senilai Rp 1,9 triliun. Hal itu diungkapkan General Manager Asian Agri Group Freddy Widjaya terkait proses persidangan yang sedang berlangsung terhadap 14 Perusahaan di dalam grup Asian Agri Group. Ia menegaskan, Undang-undang Pajak memberikan hak kepada setiap wajib pajak untuk mengajukan banding di Pengadilan Pajak terhadap Surat Ketetapan Pajak  (SKP) yang diterbitkan.

“Asian Agri taat hukum dan percaya bahwa Pengadilan Pajak akan memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Ini demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan 25 ribu karyawan dan 29 ribu keluarga petani plasma yang bernaung pada perusahaan,” ujar Freddy di Jakarta, Rabu (24/9) Merasa kasus ini penting, dalam lanjutan persidangan banding sengketa pajak Rabu pagi, Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany bahkan menyempatkan hadir di ruang sidang Pengadilan Pajak, Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan. Turut hadir di persidangan Wakil Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Mas Achmad Santosa, Anggota Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus, serta Inspektur Jenderal Kemenkeu Sonny Loho. "Semua aparat hukum mendukung langkah kami. Hari ini, dalam sidang hadir juga dari UKP4, dari KY juga hadir, dari Ditjen Pajak hadir, dari Kemenkeu Irjen juga hadir. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap kasus2 pajak seperti ini," kata Fuad. Dalam lanjutan sidang kali ini, hal yang disidangkan adalah keberatan dari dua anak usaha Asian Agri, yakni PT Saudara Sejati Luhur, dan PT Inti Indosawit Subur. Dua perusahaan itu, seperti sikap perusahaan induknya, menolak dikenakan tagihan pajak penghasilan badan dan PPh pasal 25 untuk periode 2002-2005 yang dikeluarkan Ditjen Pajak. Fuad yakin pihaknya bakal sukses menagih kekurangan pajak sebesar Rp 1,29 triliun. Ini kekurangan pajak ketika kasus Suwir Laut terungkap di Mahkamah Agung, telah menghindarkan pajak buat Grup Asian Agri. Ditambah sanksi administratif Rp 700 miliar, maka tagihan total otoritas pajak mencapai Rp 1,9 triliun. Asian Agri Group sendiri menurut rilis Kejaksaan Agung sebenarnya sudah melunasi denda Rp 2,5 triliun per 17 September 2014. Denda tersebut wajib dibayarkan oleh AAG berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) pada 18 Desember 2012. “Tapi (sidang) ini lain lagi, ini adalah penagihan terhadap pajak terutang, mereka kurang bayar yang kena lagi denda administratif-nya. Tagihan kita melalui proses administrasi ini Rp 1,9 triliun. Ini di luar Rp 2,5 triliun ya dan tetap harus kita tagih,” ujar Fuad. Jaja Ahmad  sendiri menjelaskan, kepentingannya hadir di persidangan tersebut, dalam kapasitasnya untuk melakukan pengawasan terhadap semua pengadilan termasuk pengadilan pajak. Pengawasan terhadap pengadilan pajak itu menurutnya sesuai dengan MoU Kemenkeu dengan KY tahun 2010. “Jadi kita punya kompetensi untuk melakukan pengawasan pengadilan pajak. Tadi kami pantau bagaimana pengadilan pajak berjalan apakah sudah sesuai dengan etik apa gak sebagai seorang hakim,” ucapnya. Sementara Mas Achmad Santosa menuturkan, dirinya berkepentingan hadir karena pihaknya terkait dengan pelaksanaan inpres 1 tahun 2011, yaitu soal percepatan penanganan kasus-kasus hukum dan mafia perpajakan. “UKP4 yang dulu ada satgas pemberantasan mafia hukum, sangat peduli sekali dengan bagaimana membangun pengadilan pajak yang betul-betul independen, profesional dan adil,” tuturnya. Menurutnya, perkembangan pengadilan pajak saat ini sudah cukup baik. Hal ini bisa dilihat dari berkurangnya kekalahan yang dialami negara dari sengketa pajak. “Kalau dulu itu kekalahan negara itu 70%, sekarang itu negara dimenangkan 60%. Artinya itu menunjukkan dari output itu membaik kondisinya,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan