ASII tetap konsisten menginjak pedal gas otomotif



Tidak ada yang menyangkal, Grup Astra adalah raja otomotif nasional. Hingga kini, Astra masih merajai bisnis otomotif Tanah Air. Saban tahun, kelompok usaha yang didirikan William Soeryadjaya ini mampu mempertahankan pangsa pasar penjualan otomotif di atas 50%.

Setelah 59 tahun berdiri, Astra menjelma menjadi konglomerasi bisnis papan atas. Selain otomotif, Astra merambah sektor finansial, alat berat dan pertambangan, agribisnis, infrastruktur hingga teknologi informasi. Tapi bukan perkara mudah bagi PT Astra International Tbk (ASII), induk Grup Astra, mempertahankan eksistensinya. Krisis 1998 dan 2008 menjadi saksi Astra tetap konsisten menginjak pedal gas hingga kini.

Setidaknya ada dua kunci sukses Grup Astra dalam mengarungi krisis, yakni kerjasama tim dan pembenahan internal. Pada 1998, krisis menerjang Asia, termasuk Indonesia. Ekonomi merosot, pasar terus menciut dan kurs rupiah terhadap dollar AS anjlok. Bisnis Grup Astra pun rontok. Di akhir 1998, pendapatan bersih konsolidasi ASII menyusut 29% year-on-year (yoy) menjadi Rp 11,29 triliun.


Kerugian Astra pun membengkak dari Rp 279 miliar pada 1997 menjadi Rp 3,7 triliun di 1998. Bukan hanya itu, utang bersih ASII mencapai 14 kali lebih besar daripada ekuitas. “Penurunan pendapatan terbesar disumbang divisi kendaraan bermotor dan tidak dikonsolidasikannya beberapa anak perusahaan,” ungkap Prijono Sugiarto, Presiden Direktur ASII kepada KONTAN, Rabu (21/9).

Manajemen ASII kala itu digawangi Rini Mariani Soemarno, yang menjabat Direktur Utama ASII selama 1998-2000. Saat ini, Rini adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Saat krisis, Rini harus memeras keringat dan memutar otak, mencari jalan keluar agar Astra keluar dari jerat krisis. ASII menerapkan tiga program strategis untuk memulihkan kinerja. Program itu adalah efisiensi, merumuskan kembali strategi bisnis Astra dan restrukturisasi utang.

Editor: Rizki Caturini