Asing kembali, ICBI rekor lagi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah koreksi pada Oktober lalu, Indeks Obligasi Komposit Indonesia atawa Indonesia Composite Bond Index (ICBI) kembali bertaji. Kemarin (24/11), ICBI berada di level 238,66 atau berhasil memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa. Artinya, secara year to date (ytd) sudah terjadi kenaikan 14,46% lantaran di akhir 2016 lalu ICBI ada di level 208,5.

Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Nicodimus Anggi Kristantoro menyatakan, pemicu  utama kenaikan ICBI adalah kembali masuknya dana investor asing ke Surat Utang Negara (SUN). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sejak awal November hingga Kamis (23/11) lalu, kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) melonjak 3,25% jadi Rp 822,14 triliun.

Aksi beli bersih (net buy) tersebut lantaran respons positif investor asing terhadap persepsi ekonomi Indonesia yang membaik. Ini terjadi setelah Bank Dunia mengerek peringkat daya saing (competitivenes index) dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) negara kita.


“Laporan Bank Dunia juga menyebut Indonesia sebagai salah satu negara tujuan yang diunggulkan untuk tempat berinvestasi,” kata Nico, Jumat (24/11). Ini juga yang membuat risiko pasar obligasi dalam negeri mengecil.

Analis Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra sepakat, aliran dana asing di SBN yang kembali deras menjadi katalis utama pendongkrak kinerja ICBI. Apalagi di Oktober lalu, investor asing sempat beramai-ramai meninggalkan pasar Indonesia akibat penguatan nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS), yang disertai sentimen rencana kenaikan suku bunga Federal Reserve (The Fed) pada Desember mendatang.

Kepemilikan bank naik

Selain aliran dana asing yang masuk ke SBN, peningkatan kepemilikan perbankan di obligasi pemerintah juga turut berkontribusi terhadap pergerakan ICBI. Meski kalah dari segi total dana, pertumbuhan kepemilikan perbankan di SBN justru melesat jauh sepanjang bulan ini. Per 23 November lalu, pertumbuhan kepemilikan perbankan di SBN meningkat 4,07% menjadi Rp 625,95 triliun.

Sementara secara ytd, kepemilikan perbankan di SBN itu sudah melejit 56,7%. Menurut Made, tren itu tak terelakkan. Soalnya, sejak penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia, BI 7-day reverse repo rate menjadi 4,25%, sejumlah bank ikut memangkas bunga deposito. Namun, suku bunga kredit tidak mengalami perubahan.

“Masyarakat akhirnya cenderung menghindari kredit,” katanya. Alhasil, dibanding membiarkan dananya menganggur, perbankan pun memutuskan untuk menempatkannya di SBN. Made pun optimis, pasar obligasi Indonesia akan terus berkembang, tidak hanya sampai akhir tahun, namun hingga di tahun depan.

Selain mendapat dukungan dari tingkat suku bunga acuan yang masih mini, potensi perkembangan pasar obligasi juga didorong perkiraan angka defisit di APBN 2018 yang hanya 2,9%. “Kalau defisitnya kecil, penawaran di pasar perdana relatif terjaga,” ujarnya.

Sedangkan volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga berpotensi memegang peranan penting terhadap pergerakan ICBI dalam beberapa waktu ke depan. Setali tiga uang, Nico menilai, ICBI masih akan terus merangkak naik jika lembaga pemeringkat Fitch Ratings benar-benar mendongkrak peringkat utang Indonesia pada Desember nanti.

“Jika memang dinaikkan, maka akan jadi pemicu yang dominan di pasar,” ujar dia.

Sekadar mengingatkan, Desember tahun lalu, Fitch Ratings menaikkan outlook peringkat utang (sovereign credit rating) Indonesia, dari stable menjadi positive. Sementara dari luar negeri, Nico menyebutkan, kenaikan suku bunga The Fed di akhir tahun hampir pasti terjadi. Walhasil, pelaku pasar obligasi di tanah air perlu mengantisipasi efek kenaikannya pada awal tahun depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie