JAKARTA. Investor asing masih bersemangat mengembangbiakkan dana di instrumen surat utang pemerintah. Kali ini, asing menyemai investasi di Surat Utang Negara (SUN) bertenor panjang. Mengacu pada data SUN dwi mingguan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) per 5 September 2016, kepemilikan asing pada obligasi negara domestik yang dapat diperdagangkan mencapai Rp 670,88 triliun. Dari nilai itu, mayoritas (50,02%) dialokasikan ke SUN bertenor lebih dari 10 tahun. Porsi ini naik dari posisi akhir 2015 (44,68%). Porsi kepemilikan asing pada SUN bertenor dua hingga lima tahun juga naik dari 11,82% ke 18,75%.
Begitu pula SUN tenor satu hingga dua tahun yang naik dari 1,28% ke 2,41%. Sebaliknya, porsi SUN bertenor 5–10 tahun menyusut dari 38,98% menjadi 25,71%. SUN bertempo kurang dari setahun juga menciut dari 3,23% menjadi 3,11%. Analis Capital Asset Management Desmon Silitonga berpendapat, penambahan investasi asing di SUN bertenor panjang mengindikasikan pasar optimistis terhadap prospek ekonomi Indonesia. Lihat saja rupiah yang stabil di kisaran Rp 13.000 hingga Rp 13.400 per dollar AS. Inflasi dalam negeri juga terkendali. Badan Pusat Statistik menyebutkan, inflasi periode Januari hingga Agustus 2016 setinggi 1,73%. Apalagi pertumbuhan ekonomi Tanah Air pada tahun ini disinyalir mencapai 5%–5,4%. "Ini menarik. Pada saat yang sama ekonomi negara lain lesu. Kalau investor asing tidak percaya prospek ekonomi Indonesia, mereka tidak berani menempatkan dana di SUN bertenor panjang," jelas dia. Volatilitas dan risiko SUN bertempo lama memang besar. Jika pasar keuangan Indonesia
bullish, SUN tenor panjang akan naik lebih tinggi. Sebaliknya, jika pasar tertekan, SUN bertempo lama terkoreksi lebih dalam. Daya tarik Analis Fixed Income MNC Securities I Made Adi Saputra menambahkan, obligasi negara bertenor panjang memang atraktif. Daya tarik terletak pada imbal hasil yang besar. Menurut Asian Bonds Online per 13 September 2016, yield obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun sampai 6,92%. Angka ini lebih gede ketimbang yield obligasi bertenor sama terbitan pemerintah Tiongkok (2,8%), Malaysia (3,52%), Filipina (3,43%), Singapura (1,73%), Thailand (2,17%), serta AS (1,66%). "Selisih yield dari negara lain cukup menarik," papar dia. Namun, Made mencermati lonjakan porsi asing pada SUN bertenor dua hingga lima tahun. Investor disinyalir mengalihkan dana dari SUN 5–10 tahun pada jenis obligasi ini. Ini sebagai antisipasi asing menyikapi volatilitas dan risiko pasar, terutama rencana kenaikan bunga Fed Fund. Desmon menduga, hingga akhir 2016, asing mungkin terus mengincar SUN tenor panjang karena prospek ekonomi Indonesia cerah dan imbal hasil yang menarik. Kuncinya, pemerintah berkomitmen menjalankan reformasi kebijakannya. Mulai dari proinvestasi, pembangunan infrastruktur, hingga pengalihan subsidi ke sektor produktif. Dari eksternal, mayoritas bank sentral di dunia melonggarkan kebijakan moneter. "Saya kira seandainya ekonomi AS belum pulih, aliran dana akan masuk terus ke SUN tenor panjang," imbuh Desmon. Made sepakat, asing bisa mengakumulasi SUN tenor panjang. Katalis positif bersumber dari ruang pemangkasan bunga acuan BI 7 day reverse repo rate (RRR) yang saat ini 5,25%. Kata Made, rendahnya inflasi dapat mendorong Bank Indonesia memotong BI 7 day RRR sebanyak 25 bps lagi di sisa tahun ini. Kendati demikian, ada beberapa tantangan, yakni rencana kenaikan bunga The Fed.
Pasar berspekulasi setidaknya ada satu kali kenaikan bunga The Fed pada 2016. Faktor lainnya yakni bertahannya stimulus bank sentral negara Eropa, Jepang serta Inggris. Made menyarankan investor jangka pendek menerapkan strategi trading demi menghimpun cuan optimal. Bagi investor jangka panjang, direkomendasikan terus berburu SUN tenor panjang, yakni lebih dari 10 tahun. Tren penurunan bunga dalam negeri bakal mengangkat SUN. Made memprediksi, pada akhir 2016, yield FR0056 di posisi 6,5%. Desmon menduga, di pengujung tahun ini yield FR0056 berkisar 6,5%–7%. Pada 9 September 2016, yield FR0056 di level 6,9%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie