Asing memarkir dana murah di SUN



JAKARTA. Pasar keuangan Indonesia jadi sasaran dana panas atau hot money! Pemicunya: tren suku bunga negatif di Eropa dan Jepang. Para carry trader siap membawa masuk dana panas, apalagi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) masih tinggi.

Para carry trader ini mencari dana pinjaman dari negara-negara berbunga rendah yang kemudian diparkir di negara-negara dengan tingkat imbal hasil lebih tinggi, termasuk di Indonesia. 

Head of Fixed Income Indomitra Securities Maximilianus Nico Demus mengatakan,  dana  carry trade banyak diparkir di instrumen obligasi. Ini tercermin dari capital inflow di obligasi pemerintah.


Sejak awal tahun hingga 17 Februari 2016 lalu, dana asing di surat berharga negara (SBN) bertambah Rp 32,55 triliun, hingga mencuil 40,03% dari SBN.  Efeknya, harga obligasi menguat. "Instrumen yang mendapatkan capital inflow masih didominasi obligasi, lalu diikuti pasar saham," ujar Nico, akhir pekan lalu.

Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri mengatakan,  sejak awal tahun, kebanyakan dana asing masuk ke SBN karena yield obligasi cukup tinggi. Jumat (19/2), yield SUN seri acuan bertenor 11 tahun (FR0056) mencapai 8,02%.

Dana asing mulai mengalir ke pasar modal setelah pemerintah mengumumkan kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal IV. Sejak awal tahun, asing mencetak net buy Rp 1,82 triliun. "Potensi hot money di pasar saham masih besar, sebab Eropa dan Jepang masih akan mempertahankan bunga negatif dalam dua tahun ke depan," tutur Hans.

Efeknya,  rupiah menjadi lebih kuat. Setidaknya, mata uang Garuda sudah menguat 2% tahun ini. Analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto bilang, dana asing di obligasi bisa menyokong rupiah jangka menengah dan panjang. "Tapi hot money yang di pasar saham hanya memberi sokongan jangka pendek," tuturnya.

Menurut Lucky Bayu Purnomo, Analis LBP Enterprises, dana panas dari carry trade hanya berdampak minor di pasar saham. Alasannya, IHSG di bawah 5.000 belum terlalu menarik bagi asing.

Meski saat ini carry trade memberi angin segar, namun Nico mengingatkan, tren ini bisa berdampak negatif bagi Indonesia, jika negara asal dana murah menaikkan suku bunga. Ada ancaman dana keluar (capital outflow) sehingga pasar modal bisa jatuh dan rupiah terseret. "Tapi, tahun ini, risikonya masih rendah," imbuh Hans.

Terlepas dari sokongan dana panas, ekonom Bank Permata Josua Pardede berharap pelonggaran moneter BI bisa mendongkrak ekonomi sehingga efeknya positif bagi rupiah. "Pemerintah harus mendorong asing investasi di sektor riil," katanya. Prediksi Josua, pergerakan rupiah tahun ini akan lebih sempit, yaitu antara Rp 13.400-Rp 13.800 per dollar AS.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto