KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi jual asing belum berhenti. Pada Jumat (16/3) lalu, aksi jual asing
(net sell) di Bursa Efek Indonesia tercatat Rp 1,03 triliun. Sejak awal tahun hingga pekan lalu (ytd), asing sudah net sell Rp 16,85 triliun. Namun asing tak sepenuhnya pergi dari pasar saham. Buktinya, saham Bukit Asam (PTBA) dan Adaro Energy (ADRO) mencetak
net buy asing tertinggi. Mengacu data RTI, ADRO menjadi saham dengan
net buy tertinggi sejak awal tahun (ytd). Nilai totalnya mencapai Rp 1,09 triliun. Posisi kedua adalah PTBA dengan total
net buy senilai Rp 542,2 miliar.
Yang menarik, asing tak sepenuhnya menjual ADRO dan PTBA selama sebulan terakhir. Padahal, di periode itu sentimen harga batubara untuk PT PLN bergulir kencang. Skemanya jauh di bawah harga pasar, sehingga berpotensi menggerus pemasukan kedua emiten itu. Banyak faktor yang membuat asing tertarik dengan sektor batubara Indonesia, terutama ADRO dan PTBA.
Pertama, valuasi murah. Sektor komoditas cukup murah dibandingkan valuasi bursa saham Amerika Serikat sejak 1971. Lantaran murah, asing banyak mengakumulasi saham batubara. "Pasar komoditas sangat
cyclical, tapi saat ini sangat menjanjikan karena kembali masuk siklus kenaikan," ujar
Vice President Research and Analysis Valbury Sekuritas Indonesia Nico Omer kepada Kontan.co.id, Minggu (18/3). Bukan hanya itu. Tiongkok tengah menjalankan megaproyek infrastruktur One Belt One Road (OBOR). Proyek ini untuk memperlancar kegiatan ekonomi, terutama sesama anggota Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) OBOR. Jangan lupa juga, saat ini 90% proyek infrastruktur dikerjakan di Asia dan butuh banyak komoditas, tak terkecuali batubara. "Sektor ini masih menjanjikan setidaknya lima tahun ke depan," imbuh Nico. Efek DMO batubara Tak bisa dipungkiri, sentimen harga batubara
domestic market obligation (DMO) untuk PLN turut menekan saham batubara. Ini terlihat dari asing yang sempat keluar dari saham batubara, meski bersifat terbatas. Namun kebijakan harga DMO batubara US$ 70 per ton secara umum hanya akan menggerus laba emiten 5%. "Hanya berkurang 5%, tapi masih laba," kata Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee. Efek DMO ke PTBA mungkin lebih besar. Sebab, jatah batubara DMO PTBA di atas 50%. Sedangkan ADRO hanya sekitar 20%. Tapi, biaya produksi batubara di Indonesia relatif murah, rata-rata US$ 35 per ton. Jadi, meski harga DMO US$ 70 per ton, masih ada margin yang bisa dipetik. "Hal ini juga mengompensasi sentimen harga batubara yang belakangan ini kembali turun," jelas Hans.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan menghitung, pendapatan ADRO dan PTBA masing-masing berkurang 12,5% dan 12% jika harga DMO ditetapkan pada level tersebut. Tapi, para emiten masih bisa mengompensasi hal tersebut dengan memperbesar pasar ekspor. Ini dengan asumsi harga DMO berlaku secara umum, tidak spesifik pada batubara dengan jenis kalori tertentu. "Kami masih optimistis dengan sektor batubara," tulis Andy dalam riset 8 Maret. Dia merekomendasikan
buy ADRO dan PTBA, dengan target harga masing-masing Rp 2.425 dan Rp 3.225 per saham. Target ini belum berubah, sembari menunggu detail pemberlakuan harga DMO batubara. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati