JAKARTA. Pemerintah akan menerbitkan revisi daftar negatif investasi pada akhir tahun 2013. Inti revisi itu adalah pembukaan akses baru dan perluasan akses yang sudah ada bagi investor asing di sejumlah bidang. Tekadnya adalah meningkatkan investasi. Di sisi lain, dominasi asing atas perekonomian Indonesia akan menguat. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, di Jakarta, Rabu (6/11/2013), menggelar rapat koordinasi tentang revisi daftar negatif investasi (DNI) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010. Rapat tertutup dihadiri, antara lain, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar, Wakil Menteri Keuangan II Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi. Kepentingan merevisi DNI, menurut Hatta, karena pemerintah merasa perlu menyesuaikan aturan dengan keadaan dunia saat ini. Revisi dilakukan atas setidaknya empat prinsip. Pertama, revisi ditujukan untuk mendorong investasi. Akses bidang usaha dibuat lebih terbuka dengan tetap menjaga kepentingan nasional dan mengacu undang-undang yang ada.
Kedua, revisi tidak lebih restriktif dari aturan lama. Ketiga, harmonisasi dari pengaturan bidang-bidang usaha. Semula ada satu bidang usaha yang diatur di dua kementerian sehingga dirasakan merepotkan. Ke depan, satu bidang usaha cukup ditangani satu kementerian. Keempat, pengelompokan bidang usaha. Ada beberapa bidang usaha yang harus tetap dijaga, seperti usaha kecil menengah dan sektor pertanian. ”Ini baru pembahasan, belum menjadi final. Karena kita masih akan membahas satu kali lagi. Kita meminta agar sektor dipertajam kembali. Dunia usaha juga akan melakukan pembahasan lagi. Baru kemudian akan kami rumuskan,” kata Hatta. Lima bidang usahaDari hasil rapat sementara, sebanyak lima bidang usaha yang sebelumnya tertutup bagi investor asing akan dibuka. Bidang usaha di bandar udara (bandara), pelabuhan, dan jasa kebandarudaraan akan dibuka akses kepemilikan modal asingnya sampai 100 persen. Ini bukan pada asetnya, melainkan pada pengelolaannya. Dua bidang usaha lainnya adalah terminal darat dan terminal barang. Dari yang sebelumnya tertutup untuk investasi asing, kepemilikan modalnya akan dibuka sampai 49 persen. Sementara ada sekitar sepuluh bidang usaha yang selama ini telah dibuka aksesnya akan diperluas skalanya. Hal itu misalnya pariwisata alam, dari kepemilikan saham asing maksimal 49 persen menjadi maksimal 70 persen. Telekomunikasi jaringan tertutup dari 49 persen menjadi 65 persen. Farmasi dari 75 persen menjadi 85 persen. ”Konteks revisi dari perpres ini adalah kesempatan bagi investor asing dan dalam negeri untuk tidak hanya melihat Indonesia sebagai pasar, tetapi juga menjadikannya sebagai tempat investasi yang baik untuk selanjutnya meningkatkan nilai tambah, menggunakan Indonesia sebagai basis produksi untuk ekspor. Semangat ini yang ingin kita dorong,” kata Mahendra. Direktur Eksekutif Center Of Reform on Economic (CORE) Hendri Saparini berpendapat, pembukaan akses investasi asing sah saja. Terpenting adalah hal itu didasarkan atas strategi ekonomi yang jelas, terutama demi kepentingan nasional. ”Kita harus punya referensi strategi. Kita membuka dan menutup (akses) itu terpisah dari rencana strategis karena kita memang tidak punya rencana yang komprehensif. Karena tak punya strategi, pemerintah hanya sekadar berpikir mendorong investasi. Jadi membuka selebar-lebarnya akses dan seolah-olah ada pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak mengerti arahnya ke mana,” kata Hendri. Faktanya, menurut Hendri, pemerintah acap kali telanjur membuka akses asing di sejumlah bidang usaha dan baru di kemudian hari menyadari ada permasalahan. Ini, misalnya terjadi di sektor perbankan. Saat keran liberalisasi sektor perbankan dibuka tahun 1998, banyak investor Malaysia dan India masuk. Konsekuensinya, rencana bisnis ditentukan pihak asing. Sementara pengaruh pemerintah dalam mengajak bank mendorong kepentingan nasional menjadi minim. 12 bank dikuasai asing Catatan Kompas, di sektor perbankan sedikitnya 12 bank swasta kini dikuasai asing. Di sektor pertambangan migas sekitar 70 persen dikuasai pihak asing, pertambangan tembaga dan emas sekitar 85 persen dikuasai asing. Demikian pula pada sektor perkebunan sawit di mana sekitar 40 persen dari 8,9 juta hektar kebun kelapa sawit dikuasai asing. Di sektor telekomunikasi, 35 persen sampai 66,5 persen juga dikuasai asing. Hendri menyarankan, DNI bisa dibuat lebih spesifik disandingkan dengan insentif yang tepat, termasuk dalam hal lokasi penanaman modalnya. Dengan demikian, insentif, DNI, kepentingan swasta ataupun nasional sinkron. Tanpa itu, apalagi nihil strategi, yang terjadi adalah kerugian kepentingan nasional. ”Harus menguntungkan semua pihak. Oleh karena itu, harus ada perencanaan sebagai acuan. Tidak bisa dibuka di mana saja. Kita perlu pendanaan dari luar untuk mendorong sesuatu, tapi perlu strategi yang jelas.” China, misalnya, kata Hendri, membutuhkan waktu sembilan tahun untuk meliberalisasi sektor perbankan dan keuangan. Sektor keuangan diletakkan sebagai pendukung sektor riil. Dengan demikian, strateginya adalah menguatkan sektor riil dulu. ”Ini yang tidak terjadi di kita. Kita liberalisasi keuangan dulu. Riil baru belakangan,” kata Hendri. ”Implikasi kalau tanpa referensi, pokoknya bisa masuk investasi saja. Jadinya, lobi dari investor yang siap masuk jauh lebih kuat dari pertimbangan kita sendiri. Akhirnya, manfaatnya menjadi minim,” kata Hendri. Secara terpisah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono menyatakan tidak kaget dengan kebijakan pemerintah tersebut. Alasannya, itu merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan undang-undang lain yang dinilai instrumen liberalisasi. Sejumlah aturan tersebut telah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi.
”Kedaulatan Indonesia tidak untuk dijual. Indonesia sendiri tidak untuk dijual. Saya cemas sekali. Ini betul-betul liberalisme in optima forma. Negara kita dijual. Dan kita prihatin sekali,” kata Edi, yang juga Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa. Edi berpendapat, penyebab itu semua tidak saja karena paham neoliberal yang dianut para pemimpin Indonesia saat ini, tetapi juga karena sifat minder. Akibatnya, para pemimpin selalu mengagungkan investor. Bung Karno dan Bung Hatta, Edi menekankan, berpesan agar bangsa Indonesia tidak boleh antiasing. Namun, kedua bapak pendiri bangsa itu tidak mau kalau ekonomi asing mendominasi Indonesia. (LAS/Kompas cetak) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan