KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aliran dana investor asing semakin deras keluar dari pasar modal Indonesia terutama di aset surat utang. Kekhawatiran suku bunga tinggi dan perang Timur Tengah membuat investor asing untuk lebih defensif pada aset berisiko. Bank Indonesia (BI) mencatat berdasarkan data transaksi 16 – 18 April 2024, asing melakukan jual neto sebesar Rp 21,46 triliun. Rinciannya, net sell sekitar Rp 9,79 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp 3,67 triliun di pasar saham, dan jual neto Rp 8 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Dengan demikian, dari awal tahun sampai 18 April 2024, asing mencatatkan jual neto sekitar Rp 38,66 triliun di pasar SBN, beli neto sebesar Rp 15,12 triliun di pasar saham dan beli neto Rp 12,90 triliun di SRBI.
Baca Juga: Asing Jual Neto Rp 21,46 Triliun Pekan Lalu, SBN Paling Terdampak Fixed Income Analyst PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ahmad Nasrudin mencermati, aksi jual investor asing terutama di pasar surat utang, bahkan sudah terjadi sejak Februari 2024. Ini merupakan dampak dari harapan penurunan suku bunga lebih cepat kian memudar seiring inflasi belum mencapai target Bank Sentral Amerika Serikat (AS). Dari domestik, pasar surat utang memang tengah mengalami kondisi jenuh beli, setelah dana asing mengalir deras sejak November hingga Januari 2024. Ditambah lagi adanya risiko ketidakpastian akibat pemilu, yang mana kontestasi kali ini tidak diikuti oleh petahana menimbulkan ketidakpastian akan kelanjutan program pemerintah. “Tekanan jual berlanjut di April. Dan memanasnya tensi geopolitik di Timur Tengah baru-baru ini membuat investor global mengurangi eksposur ke aset berisiko,” ujar Nasrudin kepada Kontan.co.id, Senin (22/4). Nasrudin melihat, risk averse yakni penghindaran terhadap aset berisiko telah bertranslasi di pasar domestik. Rupiah melambung dan menyentuh level psikologis Rp 16.000 per dolar AS, hingga mencapai level terlemah sejak pandemi di Rp 16.260 per dolar AS. Aktivitas spekulatif pun meningkat karena pada saat yang sama, surplus dagang semakin menipis. Surplus dagang Februari 2024 tercatat sebesar US$0.87 miliar dibandingkan US$5,40 miliar pada Februari 2023. Pasokan dolar dari perdagangan internasional yang semakin menipis, ditambah meningkatnya sentimen negatif eksternal juga berimbas pada aksi jual di pasar modal. Sebab, investor menghindari risiko lebih besar jika rupiah jatuh semakin dalam. Nasrudin mengamati, investor menghindari aset berisiko seperti surat utang di negara berkembang. Sehingga, ini memicu tekanan di pasar surat utang karena asing melepas kepemilikan mereka. “Saat kondisi pasar diliputi ketidakpastian yang cukup tinggi, investor akan lebih menyukai untuk memegang cash dan aset yang lebih aman seperti emas,” imbuhnya. Jika diperhatikan, Nasrudin menyoroti harga emas menanjak dalam beberapa hari terakhir dan sempat mencapai rekor tertinggi pada pekan lalu. Investor juga memburu mata uang yang lebih aman seperti Franc Swiss (CHF) dan Yen Jepang (JPY) sebagai mata uang
safe haven. Baca Juga: Pemerintah Targetkan Cadangan Devisa hingga US$ 153,7 Miliar Dalam RKP 2025 Di samping itu, meningkatnya risk averse investor global telah memicu fenomena Strong Dollar yang telah melemahkan berbagai mata uang lain di dunia terutama pada negara-negara berkembang. Tak terkecuali, Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak dari fenomena ini. Alhasil, aksi jual oleh investor asing membuat yield SBN langsung loncat dalam sekejap. Setelah bergerak di bawah 7% sejak awal November 2023, yield tiba-tiba langsung loncat. Dalam sekejap dan hanya dalam kurang dari sepekan, yield SBN 10 Tahun naik dari 6,654% pada Selasa, (15/4), menjadi 7,04% pada Jumat (19/4). Nasudin mengharapkan tren outflow ini hanya temporer karena menilai adanya aktivitas spekulatif di tengah meningkatnya tensi geopolitik yang potensial untuk mengerek naik harga minyak. Perang juga diperkirakan tidak akan berlarut-larut dan meluas, sehingga meredakan risiko ketidakpastian. Selain itu, data surplus dagang Indonesia meningkat di bulan Maret 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan RI surplus sebesar US$4,47 miliar pada Maret 2024. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Februari 2024 dan Maret 2023. Rupiah juga didukung peran aktif bank sentral untuk mengintervensi pasar dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar. Jika tekanan rupiah berlanjut, bukan tidak mungkin Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga untuk mendukung stabilitas nilai tukar pada pertemuan 23-24 Maret. “Jika benar, kenaikan suku bunga akan memperlebar selisih (spread) dengan pasar AS yang akan memberikan ruang untuk mengurangi tekanan nilai tukar,” tutur Nasrudin.
Baca Juga: Rupiah Terjerembab, OJK: Ketahanan Perbankan Terjaga Di sisi lain, dia menyebutkan bahwa kenaikan suku bunga akan membebani perekonomian dan meningkatkan leverage keuangan di sektor bisnis. Selain itu, kenaikan suku bunga juga akan mengerek naik yield di pasar surat utang pemerintah dan meningkatkan premi di pasar surat utang korporasi.
Meski demikian, sisi positif saat ini adalah bahwa porsi asing telah turun drastis dan hanya sebesar 14% dari total outstanding di pasar sekunder. Sebelum pandemi, porsi kepemilikan asing di surat utang mencapai sekitar 40%. Pasar obligasi Indonesia pun sebenarnya masih merupakan tujuan layak bagi investor asing diantara negara berkembang lainnya. Hal itu karena peringkat sovereign Indonesia investment grade dengan outlook stabil oleh Moody’s. “Peringkat Sovereign Indonesia di sekitar BBB karena menawarkan premi yang relatif tinggi dan hanya kalah dari Meksiko dan India, jika melihat perbandingan spread yield SBN 10 tahun terhadap AS,” pungkas Nasrudin. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi