KONTAN.CO.ID - Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang berpendapat, petani kakao harus mendapatkan harga pembelian yang baik. Hal tersebut bertujuan untuk mendorong petani supaya semakin giat menanam dan merawat pohon kakao. Zulhefi juga mengungkap, dengan meningkatnya produktivitas kebun kakao, maka kebijakan yang dianggap menyusahkan petani dapat diatasi. Zulhefi menuturkan, salah satu kebijakan yang menyulitkan petani tersebut adalah bea keluar kakao yang sudah ditetapkan sejak 2010. Dia bilang, saat kebijakan terebut ditetapkan pemerintah, produksi kakao terus mengalami penurunan.
Saat ini rata-rata produksi kakao dalam satu tahun hanya berkisar 300.000 ton. Padahal, pada 2010, produksi kakao dalam setahun dapat mencapai sekitar 600.000 ton. "Jadi tarif bea keluar untuk petani itu harus 0%. Saat ini memang pajaknya 0%. Tetapi hal itu disebabkan harganya yang memang berada di bawah US$ 2.000 per ton dalam enam bulan ini," tutur Zulhefi kepada KONTAN, Rabu (12/9). Zulhefi menuturkan, pemerintah menetapkan tarif bea keluar sebesar 5% apabila harga kakao di pasar dunia sekitar US$ 2.000 - US$ 2.750 per ton. Sementara bila harganya di atas US$ 2.750 hingga US$ 3.500 per ton dikenakan tarif bea keluar hingga 10%, dan sebesar 15% apabila harga kakao berada di atas US$ 3.500 per ton. Petani baru akan bebas bea keluar apabila harga kakao di pasar dunia berada di bawah US$ 2.000 per ton. "Sejak 2010 hingga awal 2017, biji kakao selalu terkena pajak ekspor. Akhirnya, karena nilai ekonomisnya kurang akhirnya mereka beralih ke komoditas lain," ungkap Zulhefi. Harga kakao di tingkat petani saat in ipun hanya sekitar Rp 19.000 sampai Rp 20.000 per kg. Padahal, produktivitasnya hanya sekitar 400 kg tiap 1 hektar dalam satu tahun. "Jadi kalau satu tahun, bila petani hanya memiliki satu hektar tanah maka penghasilannya hanya Rp 8 juta. Itu tidak cukup. Karena itulah mereka kebanyakan berpindah ke komoditas lain seperti padi, sawit, dan jagung," tambahnya.
Berdasarkan pengamatannya, Zulhefi mengungkap bahwa terjadi penyusutan kebun kakao di Indonesia. Dari luas kebun yang dulunya seluas 1,5 juta ha menyusut menjadi 1,1 juta ha. Bahkan setengah kebun di Sulawesi Barat sudah berubah menjadi kebun komoditas lain seperti jagung dan sawit. Padahal, Sulawesi tergolong salah satu wilayah sentra produksi kakao. Karena itu, Zulhefi berharap pemerintah segera mengambil langkah secepatnya. Gerakan nasional kakao yang sempat dijalankan pemerintah juga dianggap tidak terlalu berdampak pada produktivitas kakao. Menurutnya yang paling dibutuhkan saat ini adalah tenaga penyuluhan kakao di daerah-daerah sentra produksi kakao. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto