KONTAN.CO.ID -
Anggaran belanja negara tahun depan melonjak 10,9% jadi Rp 2.461,1 triliun dibanding outlook APBN 2018. Salah satu pos bujet yang naik drastis adalah program perlindungan sosial menjadi Rp 385 triliun, dari sebelumnya hanya Rp 287 triliun. Belum lagi, tiba-tiba pemerintah memasukkan dana kelurahan dalam pembahasan RAPBN 2019. Lantaran Joko Widodo maju sebagai calon presiden, banyak yang memandang APBN 2019 nan populis. Benarkah begitu? Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani membeberkannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Ragil Nugroho dan Nina Dwiantika, Senin (5/11) lalu. Berikut nukilannya: KONTAN: Semangat apa yang pemerintah gaungkan dalam APBN 2019? ASKOLANI: Disusun sejak Agustus 2018, semangatnya untuk mengantisipasi perkembangan ekonomi global. Terjadi perubahan dan fluktuasi sebelum Agustus yang berdampak ke Indonesia. Kebijakan dagang, suku bunga The Fed, krisis di beberapa negara, pasti berpengaruh. Inilah yang jadi dasar penyusunan APBN 2019, sehingga sifatnya antisipatif. Misalnya, indikator makro yang tentu terlihat dari kondisi 2018. Pertumbuhan ekonomi masih seimbang, sekitar 5,3%. Ada juga tingkat inflasi di bawah 4% dan harga minyak juga diantisipasi di US$ 70 per barel. Termasuk yang paling update adalah nilai tukar rupiah, sebelumnya Rp 14.400 menjadi Rp 15.000 per dollar AS. Ini sesuai masukan dari BI (Bank Indonesia). Besaran-besaran makro APBN yang ditetapkan ini sudah jauh lebih realistis dibanding RAPBN. Ada dua yang berubah, yakni nilai tukar rupiah dan lifting minyak menjadi 775.00 barel per hari. KONTAN: Tahun depan anggaran belanja pemerintah, kan, meningkat. Fokus belanja pemerintah di 2019? ASKOLANI: Pemerintah menyiapkan banyak tools. Mulai peningkatan kualitas SDM (sumber daya manusia), perlindungan sosial untuk mengurangi jumlah orang miskin, hingga melanjutkan pembangunan infrastruktur. Lalu, ada juga upaya pengamanan pesta demokrasi (pemilihan presiden dan pemilihan legislatif), penyederhanaan birokrasi, serta mendesain mitigasi risiko bencana dengan dukungan dana. KONTAN: Tujuan peningkatan SDM untuk mendorong daya saing Indonesia? ASKOLANI: Betul. Sebenarnya, daya saing bangsa sudah didesain jauh hari lewat dana pendidikan 20% dari APBN. Nah, ini dikonkritkan lagi di 2019 dengan fokus antara lain memberikan akses yang lebih mudah kepada manusia Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Lalu, fasilitas serta pendidik yang lebih baik. Ada juga bangunan sekolah yang lebih baik, peningkatan jumlah penerima beasiswa. Dan, melanjutkan program vokasi yang bertujuan meningkatkan daya saing lulusan kita. Vokasi ini akan lebih masif di 2019. KONTAN: Untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah siapkan terobosan pembiayaan kreatif. Maksudnya? ASKOLANI: Kita tahu bahwa kontribusi APBN di pembangunan infrastruktur hanya 15% dan utamanya dilakukan swasta dan BUMN. Namun, pemerintah punya kewajiban masuk dan intervensi ke bidang atau sektor yang belum bisa dimasuki swasta dan BUMN. Misalnya, membangun jalan tembus di Papua dan Kalimantan. Kalau ada beberapa bidang yang masih bisa dilakukan BUMN juga swasta, maka lebih baik dikerjakan mereka, bisa lewat KPBU (kerjasama pemerintah dan badan usaha). Jadi, uangnya bisa dialihkan untuk proyek lain. Jadi, keuntungan pertama skema KPBU adalah, kita punya dana lebih yang bisa digunakan ke proyek lain. Kedua, pengerjaannya bisa lebih cepat dan ekonomis. Tahun depan, pemerintah akan banyak melakukan pengerjaan proyek dengan skema ini. Estimasi kami, ada KPBU senilai total Rp 9,38 triliun. Misalnya, preservasi jalur lintas Timur Riau–Sumatra Selatan, penggantian jembatan di lintas utama Jawa, dan ada pembangunan pusat pengolahan limbah di Sulawesi. KONTAN: Pemerintah juga mendongkrak bujet perlindungan sosial. Ada yang mengaitkan kenaikan anggaran ini untuk kepentingan politik 2019. Menurut Anda? ASKOLANI: Sebenarnya, kalau enggak ada pemilu, pengamat tidak akan mengaitkan dengan ini. Kenyataannya, Program Keluarga Harapan (PKH) sudah ada sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada juga program pendidikan dan kesehatan. Tapi sejak 2015, pemerintah lebih memperkuat dan mengembangkannya lagi. PKH lebih ditingkatkan pemanfaatannya. Selain jumlah menjadi 10 juta keluarga, pemerintah juga menaikkan manfaatnya. Tahun ini, satu kepala rumahtangga mendapatkan Rp 1,7 juta per tahun. Tahun depan jadi Rp 3,6 juta. Lalu, bantuan sosial juga diberikan dalam bentuk bantuan non-tunai. Dulu sudah ada dalam bentuk subsidi beras sejahtera (rastra). Tapi kemudian dievaluasi lalu memakai kartu untuk meningkatkan ketepatan target penggunaan yang diarahkan pada pembelian pangan. Jadi, program ini hanya memperkuat program sebelumnya. Program ini bagus untuk terus dilaksanakan karena terbukti berhasil. Contohnya, penduduk miskin di 2018 bisa turun hingga di bawah 10%. Sebelumnya, tidak pernah sampai angka segitu. Kalau program yang dilakukan tidak tepat sasaran dan tidak efektif, dampaknya tidak akan sebagus itu. Ini yang jadi keyakinan pemerintah, kalau konsisten memberikan bantuan maka pasti jelas hasilnya. KONTAN: Jadi, tujuan utamanya untuk menurunkan angka kemiskinan, ya? ASKOLANI: Dengan meningkatkan nilai bantuan, harapan kami jumlah orang miskin bisa lebih turun lagi. Intinya, bagaimana rupiah bisa memberikan manfaat yang optimal. Itu pemerintah punya indikator hitungannya. Berapa banyak masyarakat miskin yang bisa diturunkan, berapa pengangguran yang bisa terserap, berapa penduduk yang bisa mendapatkan manfaat pendidikan dari program vokasi, dan berapa pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai akibat pembangunan infrastruktur yang masif. Bahkan, pemerintah tidak hanya memberikan bantuan, juga dana desa dan kredit usaha rakyat (KUR). Dengan harapan, masyarakat menengah ke bawah bisa lebih merasakan manfaatnya. Pajak usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) juga diturunkan, dari 1% jadi 0,5%. Ada juga bantuan perumahan. Ini semua tidak ada hubungannya dengan pemilu, murni untuk kepentingan nasional. KONTAN: Lalu, kenapa tiba-tiba pemerintah mengusulkan ada dana kelurahan? ASKOLANI: Begini, kalau kita lihat, dana desa sejak 2015 sudah konsisten. Dulu, desa kurang diperhatikan sehingga banyak desa yang tertinggal. Dengan dana desa, mereka bisa lebih cepat berkembangnya. Nah, kami lihat, desa bisa mengungguli kelurahan dalam konteks positif. Karena itu, kelurahan harus dimajukan lebih masif. Kami juga dapat masukan dari DPR dan DPD, bahwa kelurahan dan desa harus berimbang kemajuannya. Untuk mekanisme, selama ini kelurahan lewat APBD, artinya dikelola pemerintah daerah (pemda). Dengan ada gap antara desa dan kelurahan, maka supaya perkembangan kelurahan cepat, perlu disuntik dana juga. Presiden pun memutuskan, kelurahan harus didukung lewat dana alokasi umum (DAU) dari APBN pusat. Ini bukan menggantikan dana desa. Nanti di APBD ada tambahan dana kelurahan dari DAU. Lagi-lagi, bukan alasan politis, melainkan bagaimana mendukung pembangunan desa dan kelurahan. Masukannya sudah dari dua tahun lalu, namun pemerintah perlu menimbang dan mengevaluasi dari berbagai sisi. Sehingga, tahun depan adalah saat yang tepat untuk memberikan dana kelurahan. KONTAN: Cuma, gara-gara belanja meningkat sementara penerimaan belum bisa mengimbangi, APBN defisit? ASKOLANI: Pemerintah mendesain defisit anggaran di 2019 sebesar 1,84% dari produk domestik bruto (PDB) untuk mengantisipasi tantangan ekonomi global tahun depan. Mengapa muncul angka itu? Ini menunjukkan penguatan fiskal dibanding defisit 2018 yang 2%. Kami bertahap menurunkan defisit dalam tiga tahun terakhir. Dan, ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menekan defisit APBN yang terlalu besar. Karena kalau terlalu besar, artinya pemerintah harus mencari alternatif pembiayaan utang lain yang kemungkinan besar berasal dari luar. Jika dari luar, maka rentan sekali dengan perubahan kondisi global dan risiko biaya bunga tinggi. Intinya, mengurangi ketergantungan dari luar. Kenapa berani 1,84%? Karena kami juga akan mengandalkan dari pendapatan dalam negeri yakni pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang lebih sustainable. Sisanya baru dari utang dan menunjukkan pembiayaan utang yang makin kecil. KONTAN: Di tengah tren bunga tinggi, bagaimana strategi utang pemerintah? ASKOLANI:
Pertama, memperdalam pasar obligasi.
Kedua, lebih memfokuskan pendapatan di dalam negeri.
Ketiga, pengelolaan utang lebih efektif.
Keempat, memperkuat fiskal kita. Dengan langkah-langkah ini, kami yakin bisa meningkatkan rating investasi Indonesia. Ini berdampak pada penurunan yield bunga kredit kita. KONTAN: Fokus mencari dana di dalam negeri, artinya pemerintah akan menggenjot penerbitan surat utang? ASKOLANI: Tidak, malah penerbitan surat utang akan kami kurangi, lebih rendah 7,3% dari
outlook APBN tahun 2018 jadi senilai Rp 359,3 triliun. ◆ Biodata Riwayat pendidikan: ■ S1 Ilmu Ekonomi & Studi Pembangunan Univiversitas Sriwijaya, Palembang ■ S2 Ekonomi University of Colorado, Denver, AS
Riwayat pekerjaan: ■ Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan ■ Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan ■ Komisaris Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Keuangan ■ Kepala Bidang Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan ■ Kepala Bidang Perumusan Rekomendasi Kebijakan Belanja Negara Kementerian Keuangan ■ Kepala Subdirektorat Penyusunan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan ■ Bidang Analisa Pengeluaran Rutin Badan Analisa Fiskal Kementerian Keuangan ■ Kepala Subbidang Analisa Pembayaran Bunga Hutang Badan Analisa Fiskal Kementerian Keuangan ■ Kepala Subbagian Penerimaan Pembangunan Badan Analisa Keuangan dan Moneter Kementerian Keuangan ■ Kepala Urusan Penerimaan Minyak Bumi Badan Analisa Keuangan dan Moneter Kementerian Keuangan.
** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 12 November -18 November 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "APBN 2019 Tak Terkait Pemilu" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga