Asosiasi berikan tanggapan beragam atas larangan ekspor bijih nikel



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan Peraturan menteri tentang larangan ekspor bijih nikel yang mulai berlaku per Januari 2020 mendatang. Sekretaris Jenderal (Sekjen) APNI Meidy Katrin mengungkapkan, pelarangan ekspor akan berdampak pada potensi kehilangan pendapatan negara dari ekspor bijih nikel kadar rendah sebanyak 57,27 juta wet metric ton (wmt) senilai US$ 259,79 juta.

Baca Juga: Mulai 1 Januari 2020, pemerintah resmi melarang ekspor bijih nikel

"16 pengusaha smelter nasional kini tahap pembangunan mencapai 30% dan dengan larangan ekspor bisa merugi hingga US$ 960 juta," terang Meidy, Senin (2/9). Masih menurut Meidy, pemerintah perlu konsisten dengan regulasi yang diterbitkan. Selain itu aturan yang tumpang tindih dinilai tidak sehat bagi iklim investasi. "Potensi cadangan nikel bisa dikuasai asing dengan perkiraan sekitar 3 miliar ton, bahkan berpotensi terjadi kartel nantinya," ungkap Meidy.


Dampak lain menurut Meidy yakni hilangnya lapangan pekerjaan bagi 16.000 karyawan lokal. APNI turut mempertanyakan langkah pemerintah dalam penerbitan larangan ekspor sebab selama ini, APNI menyebutkan permintaan smelter domestik adalah bijih nikel dengan kadar di atas 1,8%. Pendapat berbeda diungkapkan pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan & Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handoyo. Jonatan malah mendukung pelarangan ekspor bijih nikel.

Bahkan menurutnya, larangan ekspor yang baru akan dimulai pada Januari 2020 dirasa terlalu lama. "Pemberian waktu hingga Desember, mau berapa ton lagi yang akan dikapalkan ke luar Indonesia," ujar Jonatan, Senin (2/9).

Baca Juga: Realisasi ekspor nikal periode 2017-Juli 2019 sebesar 38,29 juta ton

Lebih jauh Jonatan mengungkapkan, kelonggaran yang diberikan Kementerian ESDM nyatanya belum berdampak signifikan. Pendapatan ekspor nikel digunakan sejumlah perusahaan untuk membangun smelter, namun Jonatan beranggapan sejauh ini belum ada dampak yang benar-benar terlihat. "Mau berapa gulung yang hilang untuk bangun smelter," kata Jonatan. Jonatan menambahkan, sumber cadangan nikel tanah air dapat dimaksimalkan demi mendukung pengembangan industri mobil listrik. Mengutip pemberitaan Kontan.co.id, Direktur Utama Aneka Tambang Arie Prabowo Ariotedjo mengaku belum mengetahui kabar mengenai ditekennya Permen tersebut, namun ia memastikan hal tersebut tak jadi soal bagi rencana pengembangan smelter milik ANTM. "Semuanya masih on schedule saja," ujar Arie ketika dihubungi Kontan.co.id, Miggu (1/9). Asal tahu saja, ANTM memiliki proyek pembangunan smelter nikel yang berlokasi di Papua Barat, mereka mengharapkan dapat memulai proyek itu pada tahun 2020. Lebih jauh Arie memastikan ANTM akan terus menggenjot kinerja khususnya pada tahun mendatang. Apalagi kata Arie, pendapatan yang diperoleh lewat bijih nikel dalam setahun hanya sebesar 7% atau sekitar Rp 2 triliun dari total pendapatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini