Asosiasi Panas Bumi Indonesia Nantikan Aturan Turunan Perpres Energi Terbarukan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) menantikan aturan turunan Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Harapan asosiasi, turunan dari beleid tersebut bakal memuat sejumlah hal, mulai dari petunjuk teknis soal negosiasi harga pembelian tenaga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) hingga serangkaian insentif untuk para pengembang.

“Kami masih menunggu turunannya, kan ada insentif-insentif yang dijanjikan,” tutur Ketua API, Priyandaru Effendi saat dihubungi Kontan.co.id (8/10).

Perpres 112 Tahun 2022 memang menjanjikan insentif  fiskal dan non fiskal bagi Badan Usaha yang melakukan pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan. Pasal 22 Ayat (2)  beleid tersebut merincikan, insentif fiskal yang dimaksud dapat berupa fasilitas pajak penghasilan, fasilitas impor berupa pembebasan bea masuk impor dan/atau pajak dalam rangka impor, fasilitas pajak bumi dan bangunan, dukungan pengembangan panas bumi, serta dukungan fasilitas pembiayaan dan/atau penjaminan melalui badan usaha milik negara yang ditugaskan pemerintah.


Perpres yang diundangkan pada 13 September 2022 lalu tersebut tidak merinci insentif non fiskal yang dimaksud. Beleid tersebut hanya menyebutkan bahwa insentif non fiskal diberikan oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Baca Juga: Pemerintah Optimistis Mendorong Transisi Energi Menuju Net Zero Emission (NZE)

Selain menjanjikan insentif, Perpres 112 Tahun 2022 juga memuat sejumlah hal, termasuk percepatan pengakhiran masa operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), serta ketentuan harga pembelian listrik energi terbarukan oleh PLN yang terdiri atas harga patokan tertinggi dan harga kesepakatan.

Menurut Priyandaru, ketentuan harga yang diatur dalam Perpres 112 Tahun 2022 sebenarnya tidak sesuai dengan usulan yang diajukan oleh API. Catatan saja, sejatinya, API mengusulkan agar pembelian tenaga listrik dengan mekanisme feed-in-tariff (FIT). 

“Dan itu harga patokan tertinggi juga lebih rendah daripada usulan API tapi kan ada beberapa sweetener di situ, ada insentif-insentif yang akan diberikan kemudian,” imbuh Priyandaru.

Setidaknya ada 2 insentif yang diharapkan oleh API. Pertama, insentif pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Menurut Priyandaru, tagihan PBB cukup dirasa cukup besar, yakni kurang lebih 2% dari revenue. Padahal, pengembang panas bumi juga harus tagihan lain seperti misalnya bonus produksi sebesar 0,5% dari pendapatan kotor. Selain itu, terdapat pula tagihan royalti yang juga harus dibayarkan oleh pengusaha panas bumi.

Insentif lainnya yang juga diharapkan ialah insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemakaian jasa dan pembelian produk dalam negeri.

“Kita kan spirit-nya mau meningkatkan TKDN, sementara dengan produk dalam negeri kita bayar PPN,  padahal kalau produk impor kita diberikan insentif, jadi kalau itu (PPN atas barang dan jasa dalam negeri) juga bisa tidak dipungut itu akan lebih baik,” imbuh Priyandaru.

Baca Juga: Perpres Tarif EBT Terbit, Pemerintah Optimistis Jalankan Transisi Energi

Selain insentif, API juga berharap aturan turunan Perpres 112 Tahun 2022 nantinya bakal mengatur petunjuk teknis negosiasi harga pembelian listrik antara pengembang dan PLN. Usulan Priyandaru, aturan turunan Perpres nantinya bisa mengatur agar pemerintah bisa menunjuk pihak ketiga, yakni konsultan independen, jika negosiasi harga tidak kunjung disepakati setelah 6 bulan.

“Kemudian kalau harganya di atas HPT (Harga Patokan Tertinggi), maka menteri menyetujui setelah konsultan independen bilang harganya segitu,” tandas Priyandaru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi