JAKARTA. Indonesia Petroleum Association (IPA) masih ragu-ragu menyepakati penerapan
gross split dalam kontrak bagi hasil atau
production sharing contract (PSC) minyak dan gas (migas). Argumennya, banyak komponen atau formula insentif yang belum dimasukkan. Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong menyatakan, pihaknya tidak menentang sistem
gross split, asalkan sistem itu bisa menjadikan keekonomian proyek migas sama atau lebih bagus dibandingkan kontrak bagi hasil saat ini yang mengusung
cost recovery. "Jadi
split-nya harus memadai untuk memenuhi keekonomian proyek," tegasnya kepada KONTAN, Minggu (15/1).
Pemerintah belum menentukan
split dasar dan insentif berupa tambahan split proyek-proyek migas yang berisiko tinggi. Sehingga pemerintah belum juga merampungkan aturan tersebut. Agar nantinya split mampu meningkatkan keekonomian lapangan migas, Marjolijn mengusulkan pemerintah melakukan suatu studi sebelum mengeluarkan aturan mengenai gross split. Studi tersebut harus mempertimbangkan beragamnya risiko dan tantangan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dalam mengerjakan lapangan migas di Indonesia. "Jadi, kontrak
gross split Indonesia akan mampu bersaing dengan keekonomian di negara lain," harap dia. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan, penentuan split dasar dan split tambahan segera diputuskan dalam waktu dekat. "Masih ada waktu," katanya. Berdasarkan data Kementerian ESDM, split dasar akan dibagi menjadi dua yaitu bagian kontraktor dan bagian pemerintah.
Split dasar adalah hitungan bagi hasil yang umum dipakai PSC saat ini. Kini
based split minyak 85% pemerintah dan sisanya kontraktor. Sedangkan untuk gas, pemerintah mendapat
split 70% dan kontraktor 30%. Setelah based split sepakat, baru menentukan komponen
variable split. Ada enam variabel yang menentukan besaran bagi hasil pada komponen ini, yakni reservoir migas, lokasi proyek, kondisi lapangan, tingkat kesulitan berdasarkan kondisi geologis, jenis blok migas, penggunaan teknologi dan komponen lokal.
Komponen terakhir yang menentukan bagi hasil adalah progresif split. Ini mengikuti perkembangan harga minyak dunia dan akumulasi produksi kontraktor. Di gross split tidak ada mekanisme
cost recovery, sehingga tidak perlu
authorization for expenditure (AFE). Kontraktor berusaha mengoptimalkan biaya operasi, karena jika biaya tinggi, bagian kontraktor menurun, sedangkan bagian pemerintah. Gross split mengurangi rantai birokrasi karena kontrol SKK Migas terhadap biaya kontraktor akan berkurang.
Gross split berlaku pada kontrak baru dan kontrak terminasi. Sedangkan kontrak perpanjangan tidak berlaku. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie