Asosiasi plastik (INAPLAS) dukung Permendag tentang impor limbah non-B3



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 92/2019 mengatur Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. Dalam peraturan tersebut, juga mengatur jenis bahan baku dari sejumlah industri yang boleh diimpor. Salah satunya, bahan baku plastik.

Mengintip lampiran Permendag No 92 tahun 2019, ada sejumlah jenis limbah Non-B3 sebagai bahan baku industri yang bisa diimpor. Beberapa di antaranya, limbah dari polimer etilena, produk seluler yang tidak kaki, polimer vinil klorida, dan lainnya.

Sekjen Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) Fajar Budiono mengatakan, adanya peraturan ini tidak masalah untuk industri plastik. Meski demikian yang harus dijadikan catatan adalah implementasi pengawasan di lapangan yang seharusnya ketat.


Baca Juga: Beleid larangan plastik sekali pakai, bisa jadi kendala produsen plastik

"Dalam aturan di Permendag No 92/2019, pemerintah memperbolehkan limbah sisa produksi seperti scrap untuk diimpor. Kalau ini kami setuju," jelas dia kepada Kontan.co.id, Jumat (10/1).

Fajar menambahkan, kejadian impor limbah sisa konsumsi seperti bungkus makanan memang ditolak oleh industri plastik dalam negeri. Meski demikian hal yang luput sejak kemarin adalah pengawasan di lapangan dalam hal ini post border yang kurang baik sehingga di dalam impor ada scrap dan juga sampah yang tercampur.

Fajar menyatakan pengawasan di lapangan harus benar-benar kuat agar masalah di Sidoarjo yakni penggunaan sampah plastik impor sebagai bahan bakar membuat tahu.

Di sisi lain, industri plastik justru tertekan dengan kebijakan lain yakni pelarangan plastik sekali pakai. Dalam waktu dekat Jakarta akan mengimplementasikan kebijakan ini yang diatur dalam Pergub Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan.

Baca Juga: Gajah Tunggal (GJTL) tak terdampak beleid impor limah non-B3

Menurut dia, kebijakan tersebut tidak pro industri. Sebab di hulu industri diminta untuk gencar berinvestasi tapi di hilir justru dihambat. Secara psikologis, investor akan balik kanan untuk investasi.

Fajar menambahkan, redaksi yang seharusnya digunakan bukanlah pelarangan melainkan pengaturan. Fajar mencontohkan plastik yang digunakan yang tebal supaya secara produksi diatur dan pemulung sebagai ujung tombak industri plastik lebih semangat mengambil.

Dengan adanya pelarangan plastik sekali pakai yang sejak 2016 gencar dilakukan sejumlah kota di Indonesia, dia menyebut pertumbuhan industri plastik bisa saja stagnan atau bahkan di bawah 5,1% padahal harapannya bisa tumbuh 5,2% sepanjang tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari