Asosiasi tekstil menilai usulan safeguard masih rendah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menolak besaran safeguard yang diajukan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) karena hanya mengusulkan 2,5% untuk produk hulu hingga 18% untuk produk hilir. APSyFI pun mempertanyakan keseriusan API untuk memperbaiki kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dan komitment API dalam upaya mengurangi impor.

Sebelumnya Ketua Umum API, Ade Sudrajat mengusulkan besaran safeguard berbentuk piramida dari hulu ke hilir agar harmonis dimana untuk impor serat dikenakan 2,5%, benang 5-6%, kain 7% dan garment 15-18%. APSyFI setuju dengan bentuk piramidnya. Tapi, APSyFI tidak setuju dengan besarannya yang dinilai terlalu kecil sehingga tidak akan bisa membendung impor apalagi menyelamatkan industri.

Sekretaris Jenderal APSyFI, Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa industri TPT tengah dalam kondisi SOS sehingga membutuhkan ruang pasar yang cukup untuk bisa pulih. “Jadi safeguard ini adalah langkah penyelamatan dan pemulihan industri, bukan hanya harmonisasi tarif semata,” jelas Redma dalam rilis media yang diterima Kontan.co.id, Kamis (4/10).


Baca Juga: Siap daftarkan tagihan, para kreditur perbankan akan ikuti proses PKPU Duniatex

Sebagai asosiasi hulu yang menyuplai kebutuhan bahan baku ke anggota API dihilir, APSyFI mengaku banyak mendapat aduan dari pelanggan yang membutuhkan penyelamatan industri karena terus digempur barang impor murah. “Kami harap APSyFI dan API secara organisasi bisa bersama-sama menyelamatkan industri TPT dari masa kritis dan kita bisa bersama-sama menikmati pasar domestik dari hulu ke hilir,” ungkap Redma.

Namun, dengan rendahnya besaran safeguard yang diusulkan API, Redma menilai bahwa API hanya ingin mengeliminir Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang telah ditetapkan sebelumnya untuk produk serat sintetis sebesar 16%. Padahal besaran BMAD yang telah ditetapkan pemerintah bisa dijadikan patokan bentuk piramida. “Jadi besaran safeguard yang kami usulkan di sektor serat adalah 16% dan kemudian makin besar ke hilir dengan perbedaan antar subsektor sebesar 15%-20%” kata Redma.

Besaran BMAD telah ditetapkan pemerintah berdasarkan hasil verifikasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Beberapa perusahaan di China, India dan Taiwan telah terbukti melakukan tindakan dagang curang sehingga dikenakan hukuman berupa BMAD. “Jika BMAD ini dieliminir sesuai usulan API, artinya pemerintah membiarkan tindakan curang yang selama ini menghancurkan industri dalam negeri dan kembali memuluskan barang-barang impor membanjiri pasar domestik,” terang Redma.

Baca Juga: Diduga terjadi kebocoran, pemerintah segera audit impor tekstil

Sementara itu Ikatan Ahli Teksti Seluruh Indonesia (IKATSI) menilai bahwa keputusan besaran safeguard sepenuhnya berada di tangan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). IKATSI merasa heran jika Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) melakukan manuver untuk mengarahkan besaran bea masuk safeguard dari hulu ke hilir hanya sebesar 2,5% hingga 18%.

Ketua Umum IKATSI, Suharno Rusdi menduga ada titipan kelompok importir pedagang yang masih ingin melanggengkan aktivitas impor. Padahal banjirnya impor ini telah terbukti merusak industri. “Asosiasi kan seharusnya membela kepentingan anggotanya yang produsen, bukan melanggengkan status quo rezim impor, apalagi ini kondisi industrinya sedang SOS,” ungkap Rusdi.

Safeguard merupakan salah satu instrumen yang berada dalam radar pengamatan IKATSI selain revisi PERMENDAG 64 tahun 2017 dan kegiatan impor di Pusat Logistik Berikat (PLB). IKATSI menilai bahwa agenda-agenda penyelamatan industri TPT nasional ini masih rentan disusupi kepentingan importir pedagang karena mereka berada di pusaran yang dekat dengan pembuat kebijakan.

Pasca pertemuan kalangan tekstil dengan Presiden, IKATSI meminta pihak istana untuk terus memonitor agenda penyelamatan industri TPT ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati