JAKARTA. Sudah dapat hati masih minta jantung. Mungkin itulah ungkapan yang tepat bagi para pengusaha tambang di negeri ini. Pasalnya mereka sudah diperbolehkan mengekspor komoditas tambang, tetapi menolak dikenakan bea keluar progresif untuk produk tambangnya. Salah satunya yaitu Asosiasi Tembaga dan Emas Indonesia (ATEI). Meski mengapresiasi terbitnya peraturan yang membolehkan pengusaha tetap bisa mengekpor konsentrat, namun pengusaha komoditas tembaga dan emas ini menolak adanya pungutan bea keluar progresif hingga 60%. Natsir Mansur, Ketua ATEI mengatakan, pihaknya menyambut positif kebijakan pemerintah dalam Permen ESDM Nomor 1/2014 yang membolehkan IUP untuk mengekspor tembaga dengan kadar minimum Cu 15%. "Tapi, adanya penetapan bea keluar sebesar 25% dari harga patokan ekspor (HPE) kami sangat menolak, pemerintah harusnya membahas dulu bersama pengusaha, " kata dia dalam pesan singkatnya ke KONTAN, Selasa (14/1). Bahkan, Natsir mengancam, pungutan bea ekspor akan merusak keberlangsungan bisnis IUP tembaga hingga berdampak pada penutupan areal tambang dan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Alhasil, ekonomi daerah sekitar tambang akan mengalami perlambatan. Dede Ida Suhendra, Direktur Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Minerak (ESDM) mengatakan, pungutan bea keluar yang tinggi untuk menghindari terjadinya ekspor mineral tanpa pemurnian (konsentrat) secara besar-besaran. "Pembatasannya akan dilakukan lewat bea keluar," kata dia. Pemerintah sejatinya sudah memberikan kelonggaran bagi pengusaha komoditas tembaga, pasir dan bijih besi, seng dan timbal, serta mangan agar tetap bisa ekspor konsentrat setelah 12 Januari lalu. Karena, di sisi lain, pengusaha komoditas nikel, bauksit, dan timah sudah wajib melakukan pemurnian mineral di dalam negeri.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Asosiasi tembaga menolak dikenakan BK progresif
JAKARTA. Sudah dapat hati masih minta jantung. Mungkin itulah ungkapan yang tepat bagi para pengusaha tambang di negeri ini. Pasalnya mereka sudah diperbolehkan mengekspor komoditas tambang, tetapi menolak dikenakan bea keluar progresif untuk produk tambangnya. Salah satunya yaitu Asosiasi Tembaga dan Emas Indonesia (ATEI). Meski mengapresiasi terbitnya peraturan yang membolehkan pengusaha tetap bisa mengekpor konsentrat, namun pengusaha komoditas tembaga dan emas ini menolak adanya pungutan bea keluar progresif hingga 60%. Natsir Mansur, Ketua ATEI mengatakan, pihaknya menyambut positif kebijakan pemerintah dalam Permen ESDM Nomor 1/2014 yang membolehkan IUP untuk mengekspor tembaga dengan kadar minimum Cu 15%. "Tapi, adanya penetapan bea keluar sebesar 25% dari harga patokan ekspor (HPE) kami sangat menolak, pemerintah harusnya membahas dulu bersama pengusaha, " kata dia dalam pesan singkatnya ke KONTAN, Selasa (14/1). Bahkan, Natsir mengancam, pungutan bea ekspor akan merusak keberlangsungan bisnis IUP tembaga hingga berdampak pada penutupan areal tambang dan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Alhasil, ekonomi daerah sekitar tambang akan mengalami perlambatan. Dede Ida Suhendra, Direktur Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Minerak (ESDM) mengatakan, pungutan bea keluar yang tinggi untuk menghindari terjadinya ekspor mineral tanpa pemurnian (konsentrat) secara besar-besaran. "Pembatasannya akan dilakukan lewat bea keluar," kata dia. Pemerintah sejatinya sudah memberikan kelonggaran bagi pengusaha komoditas tembaga, pasir dan bijih besi, seng dan timbal, serta mangan agar tetap bisa ekspor konsentrat setelah 12 Januari lalu. Karena, di sisi lain, pengusaha komoditas nikel, bauksit, dan timah sudah wajib melakukan pemurnian mineral di dalam negeri.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News