KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) menilai, opsi menaikkan kewajiban pemenuhan kebutuhan batubara domestik alias
domestic market obligation (DMO) belum tentu menyelesaikan permasalahan pasokan batubara dalam negeri. Sekretaris Jenderal Aspebindo, Muhammad Arif mengatakan, persoalan pasokan batubara domestik sejatinya bersumber dari permasalahan tata niaga serta selisih harga batubara DMO dengan harga batubara di pasar global yang terlalu besar. “Harga DMO (batubara untuk) ketenagalistrikan masih tidak bisa bersaing dengan keadaan
market di luar sehingga kenaikan DMO dari 25% ke 30% belum tentu menyelesaikan masalah apabila tidak ada ramuan formula harga DMO ketenagalistrikan yang bisa dikembangkan untuk mengikuti kenaikan harga
market ataupun infrastruktur pendukung di batubara lainnya,” ujar Arif kepada Kontan.co.id (27/3).
Baca Juga: DMO Batubara Bakal Jadi 30%, Peningkatan Produksi Dinilai Belum Mendesak Dilakukan Seperti diketahui, peraturan saat ini, yakni Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 139 Tahun 2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan tahap kegiatan Operasi Produksi Batubara, Izin Usaha Pertambangan Khusus tahap kegiatan Operasi Produksi Batubara, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara tahap Operasi Produksi, dan Izin Usaha Pertambangan Khusus sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk memenuhi DMO sebesar 25% dari produksi. Untuk sektor kelistrikan, harga jual batubara untuk penyediaan tenaga listrik kepentingan umum ditentukan sebesar US$ 70 metrik ton. Wacana menaikkan ketentuan DMO batubara dari semula 25% menjadi 30% diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif pekan lalu di Yogyakarta (25/3). Kontan.co.id mencatat, Arifin berujar bahwa Kementerian ESDM tengah mengkaji opsi penyesuaian tersebut. Nantinya, jika jadi diterapkan, kebijakan menaikkan porsi DMO batubara ini akan dituangkan dalam bentuk peraturan menteri. Dalam perjumpaannya dengan awak media kala itu, Arifin menyebutkan bahwa harga DMO batubara untuk sektor kelistrikan masih dipatok sebesar US$ 70 per ton. Muhammad Arif berujar, niatan pemerintah menaikkan porsi DMO demi menjaga kepastian pasokan sesungguhnya dapat dipahami. Meski begitu, ia menilai, opsi menaikkan porsi DMO menjadi 30% baru akan efektif jika diiringi dengan kebijakan formula harga DMO yang bisa mengimbangi kenaikan harga batubara di pasaran global.
Baca Juga: DMO Batubara Bakal Naik Jadi 30%, Kebutuhan Domestik Bisa Tembus 199 Juta Ton Arif beralasan, biaya-biaya seperti biaya infrastruktur pendukung, bahan bakar, biaya truk, dan pelabuhan biasanya turut naik mengikuti harga pasar batubara. Untuk itu, Arif menilai bahwa keberadaan badan otonom seperti halnya Badan Layanan Umum (BLU) diperlukan untuk menyusun formulasi harga DMO yang tepat. “Menurut saya skema-skema seperti BLU ataupun skema badan otonom lainnya untuk mengatur komersial ataupun harga DMO ketenagalistrikan ini perlu didorong beriringan dengan kenaikan DMO,” tutur Arif.
Dalam wawancaranya dengan Kontan.co.id Jumat (18/3) lalu, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM, Lana Saria mengungkapkan bahwa opsi penerapan skema BLU masih dalam pembahasan. “Masih dalam tarif kajian,” ujarnya kepada Kontan.co.id (18/3). Sedikit informasi, tahun ini, Kementerian ESDM mencanangkan rencana produksi batubara 663 juta ton. Dari rencana produksi itu, pemerintah menetapkan rencana DMO batubara sebanyak 166 juta ton. Sebanyak 130 juta ton di antaranya untuk sektor kelistrikan. Sampai akhir Februari 2022 lalu, realisasi pemenuhan DMO secara total (kelistrikan dan non kelistrikan) mencapai 25,88 juta ton. “(Realisasi DMO sampai Februari 2022) Sudah sejalan dengan rencana 166 juta ton,” ujar Lana. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .