KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Astra Agro Lestari Tbk (
AALI) catat produksi tandan buah segar (TBS) untuk inti dan plasma sebanyak 2,7 juta ton per September 2024. Sementara, produksi minyak kelapa sawit alias
crude palm oil (CPO) sebanyak 813 ribu ton hingga kuartal III-2024. “Saat ini perusahaan masih melihat tren produksi yang flat dengan tahun lalu atau akan mengalami penurunan yang disebabkan dengan keadaan cuaca tidak menentu,” ujar Vice President of Investor Relations and Public Affairs Astra Agro Lestari Fenny Sofyan, kepada Kontan, Kamis (31/10). Hingga september 2024, belanja modal alias capital expenditure (capex) yang sudah digunakan oleh Astra agro adalah Rp 608 miliar. Jumlah itu baru terserap sekitar 40%-50% dari anggaran capex AALI di tahun 2024 yang sebesar Rp 1,2 triliun – Rp 1,4 triliun.
“Hampir 50% digunakan untuk replanting yang merupakan fokus utama perusahaan saat ini. Sisanya, digunakan untuk melakukan maintenance secara keseluruhan, seperti pabrik, jalan, kendaraan, dan lainnya,” ungkapnya. Melansir laporan keuangan, AALI mengantongi pendapatan bersih Rp 16,28 triliun per kuartal III 2024. Raihan tersebut naik 3,86% secara tahunan alias year on year (yoy) dari Rp 15,68 triliun per kuartal III 2023.
Baca Juga: Tumbuh 3,86%, Pendapatan Astra Agro Lestari (AALI) Tembus Rp 16,28 triliun Secara rinci, pendapatan itu ditopang oleh segmen minyak sawit mentah atau CPO dan turunannya sebesar Rp 15,09 triliun. Lalu, diikuti segmen inti sawit atau palm kernel dan turunannya yang menyumbang Rp 1,18 triliun dan pendapatan lainnya Rp 6,6 miliar. Laba bersih AALI pun tercatat naik tipis 0,07% yoy ke Rp 801,15 miliar pada kuartal III 2024. Sehingga, laba per saham dasar ikut naik ke Rp 30,43 pada periode ini, dari Rp 18,09 di akhir kuartal III 2023. Menurut Fenny, peningkatan pendapatan Astra Agro salah satu faktornya adalah harga CPO yang masih meningkat hingga September 2024. Namun, walaupun harga CPO mengalami peningkatan yang cukup signifikan di tahun 2024, produksi TBS Astra Agro masih mengalami penurunan sebesar 17,9% yoy. Sehingga, produksi CPO juga ikut mengalami penurunan sebesar 16,7% yoy. Penurunan produksi TBS disebabkan oleh cuaca ekstrem yang terjadi belakangan ini, yang mana tahun 2019 terdapat
long term drought yang mempengaruhi produktivitas lalu dilanjutkan musim yang cukup panas pada akhir 2023 dan berlanjut hingga 2024. Fenny memaparkan, pada awalnya diprediksi Indonesia akan mengalami La Nina di akhir tahun 2024, namun ternyata masih mengalami panas ekstrem. Keadaan ini memang dialami juga oleh para pelaku lainnya di industri sawit Indonesia.
“Akibat produksi yang mengalami penurunan membuat pendapatan perusahaan tidak naik begitu pesat, walaupun harga CPO sudah mencapai level yang cukup tinggi,” paparnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari