Asuransi efek teroris masih stagnan



JAKARTA. Konsorsium Pengembangan Industri Asuransi Indonesia Terorisme dan Sabotase (KPIAI-TS) berharap mendapat kejelasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal aturan optimalisasi kapasitas dalam negeri. Pertumbuhan bisnis asuransi terorisme dan sabotase bisa tumbuh asal didukung regulasi.

Arizal ER, anggota Dewan Pengurus KPIAI-TS menyebut, selama ini belum ada aturan tegas soal kewajiban optimalisasi kapasitas asuransi serta reasuransi pertanggungan asuransi terorisme dan sabotase. Alhasil, banyak produk yang langsung dilempar ke reasuransi asing. Padahal ada beberapa bisnis bisa diserap lewat konsorsium tersebut.

Pihak konsorsium sudah meminta hal tersebut ke OJK. Namun, menurut Arizal, OJK masih mempertimbangkan. Kejelasan regulasi ini akan menimbulkan efek domino positif bagi perkembangan bisnis asuransi terorisme dan sabotase.


Bila menjadi prioritas, Arizal mengatakan, pelaku usaha tergabung dalam konsorsium ini akan berlomba meningkatkan kapasitas dari saat ini Rp 140,8 miliar.  Selain itu, besaran rate asuransi terorisme dan sebotase bisa diturunkan. Pasalnya, selama ini besaran tarif digunakan lebih tinggi dibanding reasuransi asing.

Yang penting, pelaku usaha terjamin bahwa bisnis baru tetap masuk setelah asuransi domestik diprioritaskan menampung pertanggungan produk asuransi. Arizal mengakui, pertumbuhan bisnis KPIAI-TS relatif stagnan. Rata-rata perolehan premi Rp 6 miliar-Rp 7 miliar per tahun. Sementara potensi pasar di Indonesia Rp 60 miliar tiap tahun.

Ketua Dewan Pengurus KPIAI-TS Robby Loho menambahkan, saat ini ada 56 perusahaan yang tergabung dalam konsorsium. Terdiri dari 52 perusahaan asuransi umum dan empat perusahaan reasuransi. Meski begitu, belum banyak pemilik aset mengetahui produk ini di pasaran. "Mayoritas pemegang polis berasal dari pelaku usaha komersial seperti pusat perbelanjaan," kata Robby.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini